TOKOH SEJARAH
Rabu, 18 Februari 2009 | Posted by athieftemplate
Setelah Raden Patah meninggal, Sultan Demak yang pertama digantikan oleh putranya Pangeran Sabrang Lor, tetapi selang beberapa tahun beliau wafat dan tahta kerajaan seharusnya diserahkan kepada Pangeran Sedo Ing Lepen tetapi juga meninggal karena dibunuh oleh Sunan Prawoto maka tahta kerajaan diserahkan kepada Sultan Trenggono.
Setelah penobatan Raden Thoyib bergelar Sultan Hadlirin menjadi Adipati Jepara, Ia sekaligus merupakan pengampu putra mahkota Arya Panggiri yang belum dewasa. Penobatan tersebut kira-kira terjadi pada tahun 1536 dan tetap menjadikan Kalinyamat sebagai pusat pemerintahannya. Kekuasaan meliputi negeri Jepara, Pati, Rembang dan Juwana. Sementara Ratu Kalinyamat, setelah penobatan suaminya, lebih bersifat pendamping saja. Hampir semua urusan yang menyangkut pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada suaminya. Bahkan Patih Cie Wie Gwan, bekas ayah angkatnya di Tiongkok di undang dan akhirnya diangkat menjadi patih kerajaan guna membantu pemerintahan Sultan Hadlirin.
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin pembangunan kerajaan mengalami kemajuan yang sangat pesat di berbagai bidang antara lain agama Islam, ekonomi perdagangan, sosial dan kebudayaan terutama seni ukir, pertahanan dan keamanan. Dalam menjalankan pemerintahannya di pusatkan di Kalinyamat sedangkan untuk tempat pesanggrahan atau peristirahatan dan pertapaan berada di desa Mantingan yang sekarang menjadi makam Ratu Kalinyamat dan keluarganya. Pesanggrahan di Desa Mantingan selalu dikunjungi oleh Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat apabila terdapat suatu masalah atau kepentingan. Desa Mantingan berasal dari kata pemantingan atau pementing yang artinya tempat yang sangat penting. Namun dari beberapa sumber dijelaskan Mantingan berasal dari kata Manting yang artinya pohon “Manting” atau “Salam”, tempat ini selalu dikunjungi oleh Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin serta Kanjeng Sunan Kalijaga.
Agar pesanggrahan ini dapat dijadikan sebagai tempat peristirahatan maka dilengkapi dengan bangunan masjid. Dalam pembangunan masjid berbagai ornament dipercayakan kepada ayah angkatnya yang bernama Patih Cie Wie Gwan, yang memang memiliki keahlihan mengukir batu. Patih Cie Wie Gwan disuruh oleh Sultan Hadlirin untuk mencari ornament ukir-ukiran dari Tiongkok tetapi yang dibawa bukan ukir-ukiran melainkan hanya batu-batu putih. Batu-batu putih tersebut akhirnya diukir oleh masyarakat Desa Mantingan atas perintah dan bimbingan dari Patih Cie Wie Gwan. Dari keahlian sang Patih inilah maka diberi gelar “patih Sungging Badar Duwung” apabila diartikan sungging berarti ‘memahat” Badar berarti “batu’ ata “akik” sedangkan Duwung berarti “Tajam’ atau dalam bahasa Jawa berarti “Keris”. Sehingga keahlian mengukir ini sampai sekarang dijadikan sebagai mata pencaharian masyarakat desa Mantingan dan industri Mebel.
Pembangunan masjid Mantingan ini ditandai dengan Cadrasengkala yang berbunyi “Rupa Brahmana Warna Sari” yang nilainya : “Rupa = 8, Brahmana = 4, Warna = 7 dan Sari = 1” jadi apabila dibalik menjadi 1748. Waktu ini menunjukkan masa pemerintahan Ratu Kalinyamat.
Setelah lama menikah Sultan Hadlirin dengan Ratu Kalinyamat belum dikaruniai putra sehingga menimbulkan kegelisahan. Usaha yang dilakukan yaitu mengambil putra angkat dari Sultan Hasanuddin Banten bernama Dewi Wuryan Retnowati, tetapi tidak lama kemudian meninggal dunia. Usaha Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadliri untuk tetap berkeinginan memiliki putra terus dilaksanakan demi kelangsungan keturunannya sehingga sang Ratu Kalinyamat menyuruh Sultan Hadliri menikah lagi. Ratu Kalinyamat rela dimadu dan demi untuk mendapatkan penerus kerajaan. Konon untuk mengurus perkawinan ini dilakukan oleh Ratu Kalinyamat sendiri dengan menjodohkannya pada Raden Ayu Probodinabar putri dari Kanjeng Sunan Kudus. Ini berarti selain perkawinan yang didasari oleh keinginan mendapatkan keturunan juga didasari perkawinan politik yaitu menguatkan kedudukan Sultan Hadlirin yang merupakan perpaduan dari dua kekuasaan besar. Ketika di Demak terjadi krisis perebutan kekuasaan terjadilah serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh Sunan Prawoto, putra dari Sultan Trenggono terhadap “Pangeran Sekar” (Pangeran Sedo Ing Lepen) kakak kandung dari Sultan Trenggono. Oleh karena itu, yang diangkat sebagai sultan adalah Sultan Trenggono.
Setelah Sultan Trenggono wafat kemudian Sunan Prawoto naik tahta menggantikan ayahandanya tetapi dalam waktu yang tidak lama kemudian Sultan Prawoto dibunuh oleh Arya Penangsang melalui tangan abdinya yang bernama Rungkut. Setelah Sunan Prawoto wafat, atas prakarsa mayoritas wali Sembilan diserahkan kepada menantu sultan Trenggono yang bernama Maskarebet atau Joko Tingkir. Setelah dinobatkan menjadi raja Demak Bintoro ia bergelar Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijaya kemudian memindahkan pusat kerajaanya dari Demak Bintoro ke Pajang pada tahun 1568 M yaitu daerah Tingkir tempat kelahirannya (di dekat Boyolali).
Tujuan memindahkan pusat kerajaan dari Demak Bintoro ke Pajang yaitu mendekati para pendukungnya di Tingkir serta menjauhi lawan-lawan politiknya. Joko Tingkir menjadi raja pertama dari kerajaan Pajang ini. Kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri (seorang dari wali 9), dan segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk menghindari munculnya gejolak pasca penobatan Joko Tingkir sebagai sultan, di Demak Bintoro maka diangkatlah Arya Panggiri menjadi Adipati di Demak Bintoro / raja kecil namun umurnya masih terlalu muda sehingga dia menjadi “ Yuda Raja” / raja muda dan sebagai wali rajanya adalah Sultan Hadlirin yang berkedudukan di Jepara. Sultan Hadlirin kemudian memboyong kedua adiknya yaitu Rr. Ayu Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin beserta harta kekayaan Kerajaan Demak.
Setelah tuntutan pengadilan atas terbunuhnya Sunan Prawoto tidak dikabulkan bahkan mendapatkan jawaban yang mengecewakan maka Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat segera undur diri bahkan tidak berpamitan dengan membawa perasaan kecewa. Sepulang dari pendopo “ndalem Sunan Kudus” Pangeran Hadlirin dan Ratu Kalinyamat dihadang oleh para Sorengpati-Sorengpati (Brutus / pembunuh bayaran) dan akhirnya Sultan Hadlirin di keroyok hingga terluka parah dan jiwanya tidak tertolong. Setelah terluka parah para ”abdi dalem” menyelamatkan jiwa Sultan Hadlirin dengan memapah/menandu untuk dibawa pulang ke kerajaan Kalinyamatan. Peristiwa itu berlangsung pada senja hari menjelang matahari terbenam (Jawa: ‘surup”).
Peristiwa ini dijadikan sebagai momentum pemberian nama-nama desa yang dilalui oleh Sultan Hadlirin berdasarkan keadaan jasatnya seperti: desa Damara yang berasal dari kata dammar “thing, uplik” / lampu teplok. Pada waktu itu telah banyak orang yang menghidupkan ‘damar”, sehingga disabda besok rejaning jaman desa ini akan diberi nama desa Damaran. Perjalanan dilakukan ke arah barat. Keadaan Sultan Hadlirin lukanya menganga dan mengeluarkan darah segar sehingga becek / “jember” sehingga disabda kelak akan menjadi desa Jember. Sultan Hadlirin dibawa atau ditandu ke arah barat keadaan lukanya semakinj parah berjalannya ‘merambat-rambat” sehingga diberi nama desa Perambatan. Dari kata “merambat”. Perjalanan terus dilanjutkan kea rah barat, kondisi fisik Sultan Hadlirin semakin kritis darah mengalir kesekujur tubuh. Para abdi dalem berusaha untuk membersihkan darah yang membasah disekujur tubuhnya agar bersih maka sesampainya di sebuah sungai berhenti sejenak untuk membasuh luka dan darah tersebut. Para abdi dalem merasa terpana setelah darah dan luka-lukanya dibersihkan karena air sungai berubah menjadi “wungu” sehingga disabda kelak menjadi desa Kaliwungu. Para abdi dalem yang memapah / menandu telah kepayahan sehingga sempoyongan maka di sabdanya kelak nanti “rejane jaman” menjadi desa Mayong. Dari kata sempoyongan sehingga menjadi Mayong. Perjalanan terus dilanjutkan namun suasana cuaca yang tidak bersahabat hujan dan angin turun lebat sehingga abdi dalem yang memapah / menandu terjatuh dan jasad Sultan Hadlirin jatuh di sungai dan hanyut menyangkut dikaki sebuah jembatan sehingga disabda kelak pada saat ramainya jaman akan menjadi desa Karasak. Karasak berasal dari kata krasak-krasak jasad Sultan Hadlirin yang tersangkut di kaki jembatan airnya berbunyi krasak-krasak. Perjalanan terus dilanjutkan hingga sampai di istana Kalinyamatan dan jasad Sultan Hadlirin dikebumikan di Desa Mantingan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara.
Atas dasar peristiwa tersebut maka masyarakat desa yang berada disepanjang jalan Jepara mulai dari desa Damaran yang dilalui pertama kali oleh Sultan Hadlirin hingga desa Krasak masyarakatnya setiap tanggal 15 Ruah mengadakan tradisi Baro’atan yang maksud dan tujuannya adalah untuk mengenang, menghormati wafatnya Sultan Hadlirin dan memperingati hari jadi dari masing-masing desa tersebut dengan mengadakan selamatan / kenduri bersama dengan hidangannya yaitu nasi ambengan dan dilengkapi dengan juwadah puli yang ditaburu parutan kelapa serta apem di musolla-musolla, masji-masjid dan di balai desa-balai desa derta pemanjaran uplik di depan rumah-rumah penduduk. Selain itu juga untuk memeriahkan suasana diadakan pawai obor/oncor yang dilanjutkan tirakatan. Untuk memeriahkan suasana itu di Pasar Mayong diadakan pameran mobil-mobilan dari kertas dengan berbagai bentuk selama satu minggu.
Meninggalnya Sultan Hadlirin dan Sultan Prawoto membuat kepedihan yang mendalam dan kekalutan luar biasa dari Ratu Kalinyamat sehingga dia bersumpah akan mengadakan “Tapa Ngrawe” di Gunung Donoroso. Tapa Ngrawe artinya bertapa tanpa sehelai / selembar kainpun atau bertapa dengan tanpa memakai panji-panji / simbul kerajaan (meninggalkan segala bentuk kemewahan duniawi). Sumpah ini dilakukan sebagai bentuk protes dan meminta pengadilan dari Tuhan atas meninggalnya kedua orang yang sangat dicintainya. Pertapaannya ini tidak dapat diakhiri sebelum keramas darah, dan membersihkan / mengkesetkan telapak kakinya “dijambul” / rambut kepala Arya Penangsang sebagai balas dendam atas kematian Sultan Hadlirin dan Sultan Prawoto. Selain itu Ratu Kalinyamat juga bersayembara barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang kalau perempuan akan diakui sebagai saudara “sinoro wedi” bila laki-laki akan diberikan kedua putera angkatnya yang bernama Rr. Ayu Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin.
Tindakan ini membingungkan Sultan Hadiwijaya yaitu kakak ipar dari Ratu Kalinyamat karena meninggalkan keraton sehingga Sultan Hadiwijaya berusaha untuk menemukan Sang Ratu. Akhirnya Sultan Hadiwijaya menemukan tempat pertapaannya dan meminta Ratu Kalinyamat pulang ke keraton tetapi menolak dan bersumpah sebelum berhasil membalaskan kematian dari kakak dan suaminya belum mau meninggalkan tempat pertapaannya. Dari perkataan tersebut Sultan Hadiwijaya berjanji akan berusaha untuk mewujudkan keinginan sang Ratu. Kemudian Sultan Hadiwijaya mengadakan pertemuan yang diikuti oleh Ki Panjiwa, Ki Pamanahan dan Ki Juru Mertani (Murid Sunan Kalijaga) dari pertemuan ini menghasilkan suatu kesepakatan serta mengatur strategi untuk menghadapi Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya mengadakan pengumuman yang isinya barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang maka akan diberi hadiah bumi Pati dan Alas Mentaok (Mataram). Akhirnya sang putra angkat bernama “Sutawijaya” menyanggupi dan menjadi senapati perang ketika baru berumur 16 tahun.
Untuk menghadapi Arya Penangsang maka diatur strategi yaitu dengan menantang Arya Penangsang melalui sepucuk surat yang diberikan oleh pekatik / juru pencari rumput dengan memotong telinganya. Telinga tersebut kemudian digantili dengan surat tantangan. Tukang pekatik Arya Penangsang dengan mengerang-ngerang kesakitan dan akhirnya mengadukan perihal surat tantangan ini bersama Patih Mataun. Dalam surat tantangan itu berbunyi “Hai apabila engkau seorang laki-laki sejati, ayo berperang-tanding. Jangan membawa wadya bala tentara, menyeberanglah di barat seberang sungai Bengawan Sore Caket, aku tunggu di situ”. Karena merasa mendapatkan tantangan maka Arya Penangsang mukanya merah padam meja didepannya ditendang hingga pecah berkeping-keping, sementara piring dan mangkok berhamburan kesana kemari, lalu berdiri dan menaiki kuda “Gagak Rimang” dengan membawa tombak “Dandang Mungsuh”. Sedangkan Sutawijaya sudah menunggu diseberang Kali Bengawan Sore Caket beserta 200 prajurit. Karena Kuda Gagak Rimang kuda jantan maka Sutawijaya menaiki kuda betina dengan warna putih bersih yang akhirnya Kuda Gagak Rimang menjadi binal dan naik birahinya sehingga mengejar Kuda Sutawijaya. Arya Penangsang tidak begitu menanggapi tantangan Sutawijaya bahkan memaki-makinya, “Hai Sutowijoyo, engkau anak kecil bukan tandinganku !”. mana Hadiwijoyo…manaa… akan kupenggal kepalanya. Pada kesempatan inilah Sutawijaya menggunakan kelengahan Arya Penangsang dengan melepaskan tombak Kyai Pleret ke arah perutnya.
Arya Penangsang yang sakti mandraguna terluka, usunya terburai keluar kemudian mengalungkan usunya digagang kerisnya yang bernama “Brongot Setan Kober” sambil menantang “Hai Sutowijoyo engkau anak kecil bukan tandinganku, mana Hadiwijono…! Mana… Hadiwijoyo. Sutowijoyo mengetahui setelah Arya Penangsang terluka maka menjauhlah kudanya dan sambil meledek dan menantangnya, karena merasa diledek dan ditantang emosinya tidak terkontrol akhirnya Keris Brongot Setan Kober dihunus dari warangkanya dan mengenai ususnya sendiri hingga akhirnya Arya Penangsang Tewas. Kematian Arya Penangsang tewas disampaikan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ratu Kalinyamat. Sejak saat itu Ratu Kalinyamat mengakhiri masa pertapaannya dan berkemas kembali ke istana kerajaan.
- EYANG SUTO JIWO
1. Lokasi
Legenda ini berkembang di Dukuh Ngelakmulyo, Desa Bundo, Kecamatan Bangsri. Penutur legenda ini Bapak Sulaiman, berusia 55 Tahun, seorang juru kunci dan perangkat desa Bundo.
2. Cerita Legenda
Awal mulanya datang seorang dari Brebes. Beliau berkelana hingga akhirnya menetap untuk bertapa di suatu tempat. Yang akhirnya tempat ini menjadi legenda tentang Eyang Suto Jiwo.
Di tempat ini juru kuncinya pernah dapat amanat (wangsit). Kata juru kunci: “Dulu saya duduk menghadap arah barat sekitar jam dua malam tamunya pas (kebetulan) banyak karena bertepatan hari Jum’at Wage. Saat itu, tamu tertidur semua, seperti disirep. Akan tetapi, juru kuncinya tidak tidur. Itu mbahe datang dengan naik kuda, turun langsung menghampiri tempat itu, ada di punggung (punda’e) saya kemudian ditepuk (ngetennake) tiga kali. Mbahe tadi berkata : ”Sing sabar yo ngger” (yang sabar ya nak). Saya punya teman (pembantu) namanya Pak Sarni. Pak Sarni keluarlah, saya lihati kudanya. Tetapi dia tidak keluar-keluar. Kemudian saya menghadap ke belakang (noleh) kudanya sudah tidak ada, benar (sa’estu) saya melihat kudanya, saya aja merasa mrinding (takut). Nepuk punggung tiga kali “sing sabar yo ngger” terus masuk di petilasannya, kemudian Pak Sarni keluar. Kamu mau kulihatkan kudanya mbahe.
Kemudian sementara ini cerita masyarakat yang berkembang di sekitar petilasan Mbah Suto Jiwo. Berkembangnya begini setiap orang yang berhasil di tempat itu syukuran. Misalnya Pak Bupati yang jadi ya membangun daerah petilasan. Kemudian menurut cerita dulu yang pasti siapa saja yang jadi bupati Jepara jangan sampai meninggalkan sesaji (nyekar) orang Suto sebab yang jadi bupati pertama adiknya Suto Jiwo. Jadi, ingat saudara kalau ingin jadi pimpinan di Jepara, seharusnya melewati orang Suto Jiwo, sebenarnya minta izin minta do’a restu (nyuwun pangestu).
Contohnya atau tauladan yang yang bisa diambil dari Mbah Suto Jiwo yaitu kesabaran, secara pendidikan agama ya akhlak, orang yang punya sopan santun (toto kromo), toto sito yang lurus, kemudian sabar berani mengalah akan bisa lulus susahnya (rekasane) hilang. Perilaku Mbah Suto contoh sabarnya di antaranya dalam pendidikan di dalam lagu dedalan ”dedalane guno lawan”. Kemudian diteruskan Mbah Sito Jiwo, sabar ya jangan sampai berani (manenining) di dalam dalane (jalan), dedalannya minta dengan ikhtiar (nyepi) harus memakai sopan santun (andap ashor), kemudian berani mengalah seharusnya tundukan kepala (lumekasane tungkuo) kalau di marahi, nyepang sempangi ono matur nuwun ojo nyeci-nyeci wong ora duwe. Cara (coro) guru dahulu (riyen).
Jamannya Mbah Suto hidup banyak hal yang harus dilakukan. Cara dia sabar menunggu bukti yang di mintanya manuk (burung). Beberapa hari tanpa makan minum (nahan bahan serta berhenti plue gandrung kan perkuto) yang diinginkan tidak sekali-kali berdiri kalau hajatnya (nume) itu belum datang. Kalau mau seperti itu ya berhasil.
Masyarakat di Jepara banyak yang berziarah ke peilasan itu, yang mendaftarkan sebagai petinggi ke situ minta do’a restu (pangestu) kalau mau berhasil. Misalnya bapak sebagai sesepuh agamannya orang Suto itu apa? Agamannya ya agama Allah (Islam) dia sudah sampai menyebarkan agama Islam belum, belum sampai menyebarakan Islam sudah meninggal dunia (wafat) di tempat sini (samedine) belum mempunyai keturunan. Namanya orang merantau di kejar-kejar (diuber-uber) penjajah pergi tidak memakai pakaian dinas
Petilasan itu pertama wujudnya itu pohon yang di tempati saja, pohon Ketapang. Ada orang yang mempunyai hajat berdo’a di situ akhirnya sampai lancar kemudian di bangunlah tempat itu dan lain sebagainya, rumah kecil (gubuk) itupun sudah lama. Kemudian gubuk itu dikembangkan. masyarakatnya tambah banyak gubuk itupun tambah besar.
Dahulu kala suatu cobaan, ada orang menghampiri Eyang Suto berkeinginan (kepingin) mengambil harta karun dengan cara menipu atau mempunyai sifat penipu akhirnya dia hancur, dia tidak diizini. Sifatnya harus sabar, hatinya bersih. Keinginanya burung ya burung begitu semestinya di temui, ya mbahnya namanya burung perkutut putih wulus namanya Sriwiti.
Ada semacam jimat-jimat yang lepas. Jimat yang lepas itu banyak, misalnya bapak bertapa (semedi) di situ kalau cocok pasti di dikasih banyak pusaka, misalnya akik dan lain sebagainya pada berserakan.Sementara itu ada cerita sebelum wafat, katanya ada kamar di kamar kabupaten. Eyang Suto bertempat tinggal tidak tertentu. Secara wali, misalnya ada sidang pertemuan wali ya pindah di mana dia beristirahat (pasebane) ya di manapun peristirahatannya (pasibane). Umpamannya sampai di Lemah Abang ya di situ beristirahat (pasebane) Lemah Abang, upamannya di tempat Ki Ageng Gede Bangsri ya di tempat Ki Ageng Gede Bangsri. Di Jepara kabupaten ya di Krasak Bonjok pabrik tempatnya banyak atau merantau (melanglang buowo). Tapi kalau sampai khol sini dia datang dengan tanda angin besar dan dia naik kuda itu setiap khol.
Pernah ada anak perempuan mengaku-ngaku ”aku mbah suto pundi juru kuncine” (saya mbah Suto mana juru kuncinya) dia saya temui, tidak saya tanya secara pelan-pelan karena sudah membuat hati saya marah atau jengkel, tapi saya bentak-bentak padahal di suruh untuk sabar. Kemudian tidak ada cerita lagi setelah itu saya menunggu kalau Mbah Suto keluar, tetapi dia tidak keluar.
Pas paginya saya tanya, pak pagi tadi ada kabar apa, tidak ada kabar apa-apa. Tetapi saya tetap yakin datangnya memakai pakaian mataraman seperti ketoprak metaraman. Lapak kudanya masih ada di masjid, sini suka naik kuda. Pada waktu saya melihat warnanya wulet dendo tidak hitam, tidak putih, tidak merah saya masih ingat.
1. Lokasi
Legenda ini berkembang di Dukuh Ngelakmulyo, Desa Bundo, Kecamatan Bangsri. Penutur legenda ini Bapak Sulaiman, berusia 55 Tahun, seorang juru kunci dan perangkat desa Bundo.
2. Cerita Legenda
Awal mulanya datang seorang dari Brebes. Beliau berkelana hingga akhirnya menetap untuk bertapa di suatu tempat. Yang akhirnya tempat ini menjadi legenda tentang Eyang Suto Jiwo.
Di tempat ini juru kuncinya pernah dapat amanat (wangsit). Kata juru kunci: “Dulu saya duduk menghadap arah barat sekitar jam dua malam tamunya pas (kebetulan) banyak karena bertepatan hari Jum’at Wage. Saat itu, tamu tertidur semua, seperti disirep. Akan tetapi, juru kuncinya tidak tidur. Itu mbahe datang dengan naik kuda, turun langsung menghampiri tempat itu, ada di punggung (punda’e) saya kemudian ditepuk (ngetennake) tiga kali. Mbahe tadi berkata : ”Sing sabar yo ngger” (yang sabar ya nak). Saya punya teman (pembantu) namanya Pak Sarni. Pak Sarni keluarlah, saya lihati kudanya. Tetapi dia tidak keluar-keluar. Kemudian saya menghadap ke belakang (noleh) kudanya sudah tidak ada, benar (sa’estu) saya melihat kudanya, saya aja merasa mrinding (takut). Nepuk punggung tiga kali “sing sabar yo ngger” terus masuk di petilasannya, kemudian Pak Sarni keluar. Kamu mau kulihatkan kudanya mbahe.
Kemudian sementara ini cerita masyarakat yang berkembang di sekitar petilasan Mbah Suto Jiwo. Berkembangnya begini setiap orang yang berhasil di tempat itu syukuran. Misalnya Pak Bupati yang jadi ya membangun daerah petilasan. Kemudian menurut cerita dulu yang pasti siapa saja yang jadi bupati Jepara jangan sampai meninggalkan sesaji (nyekar) orang Suto sebab yang jadi bupati pertama adiknya Suto Jiwo. Jadi, ingat saudara kalau ingin jadi pimpinan di Jepara, seharusnya melewati orang Suto Jiwo, sebenarnya minta izin minta do’a restu (nyuwun pangestu).
Contohnya atau tauladan yang yang bisa diambil dari Mbah Suto Jiwo yaitu kesabaran, secara pendidikan agama ya akhlak, orang yang punya sopan santun (toto kromo), toto sito yang lurus, kemudian sabar berani mengalah akan bisa lulus susahnya (rekasane) hilang. Perilaku Mbah Suto contoh sabarnya di antaranya dalam pendidikan di dalam lagu dedalan ”dedalane guno lawan”. Kemudian diteruskan Mbah Sito Jiwo, sabar ya jangan sampai berani (manenining) di dalam dalane (jalan), dedalannya minta dengan ikhtiar (nyepi) harus memakai sopan santun (andap ashor), kemudian berani mengalah seharusnya tundukan kepala (lumekasane tungkuo) kalau di marahi, nyepang sempangi ono matur nuwun ojo nyeci-nyeci wong ora duwe. Cara (coro) guru dahulu (riyen).
Jamannya Mbah Suto hidup banyak hal yang harus dilakukan. Cara dia sabar menunggu bukti yang di mintanya manuk (burung). Beberapa hari tanpa makan minum (nahan bahan serta berhenti plue gandrung kan perkuto) yang diinginkan tidak sekali-kali berdiri kalau hajatnya (nume) itu belum datang. Kalau mau seperti itu ya berhasil.
Masyarakat di Jepara banyak yang berziarah ke peilasan itu, yang mendaftarkan sebagai petinggi ke situ minta do’a restu (pangestu) kalau mau berhasil. Misalnya bapak sebagai sesepuh agamannya orang Suto itu apa? Agamannya ya agama Allah (Islam) dia sudah sampai menyebarkan agama Islam belum, belum sampai menyebarakan Islam sudah meninggal dunia (wafat) di tempat sini (samedine) belum mempunyai keturunan. Namanya orang merantau di kejar-kejar (diuber-uber) penjajah pergi tidak memakai pakaian dinas
Petilasan itu pertama wujudnya itu pohon yang di tempati saja, pohon Ketapang. Ada orang yang mempunyai hajat berdo’a di situ akhirnya sampai lancar kemudian di bangunlah tempat itu dan lain sebagainya, rumah kecil (gubuk) itupun sudah lama. Kemudian gubuk itu dikembangkan. masyarakatnya tambah banyak gubuk itupun tambah besar.
Dahulu kala suatu cobaan, ada orang menghampiri Eyang Suto berkeinginan (kepingin) mengambil harta karun dengan cara menipu atau mempunyai sifat penipu akhirnya dia hancur, dia tidak diizini. Sifatnya harus sabar, hatinya bersih. Keinginanya burung ya burung begitu semestinya di temui, ya mbahnya namanya burung perkutut putih wulus namanya Sriwiti.
Ada semacam jimat-jimat yang lepas. Jimat yang lepas itu banyak, misalnya bapak bertapa (semedi) di situ kalau cocok pasti di dikasih banyak pusaka, misalnya akik dan lain sebagainya pada berserakan.Sementara itu ada cerita sebelum wafat, katanya ada kamar di kamar kabupaten. Eyang Suto bertempat tinggal tidak tertentu. Secara wali, misalnya ada sidang pertemuan wali ya pindah di mana dia beristirahat (pasebane) ya di manapun peristirahatannya (pasibane). Umpamannya sampai di Lemah Abang ya di situ beristirahat (pasebane) Lemah Abang, upamannya di tempat Ki Ageng Gede Bangsri ya di tempat Ki Ageng Gede Bangsri. Di Jepara kabupaten ya di Krasak Bonjok pabrik tempatnya banyak atau merantau (melanglang buowo). Tapi kalau sampai khol sini dia datang dengan tanda angin besar dan dia naik kuda itu setiap khol.
Pernah ada anak perempuan mengaku-ngaku ”aku mbah suto pundi juru kuncine” (saya mbah Suto mana juru kuncinya) dia saya temui, tidak saya tanya secara pelan-pelan karena sudah membuat hati saya marah atau jengkel, tapi saya bentak-bentak padahal di suruh untuk sabar. Kemudian tidak ada cerita lagi setelah itu saya menunggu kalau Mbah Suto keluar, tetapi dia tidak keluar.
Pas paginya saya tanya, pak pagi tadi ada kabar apa, tidak ada kabar apa-apa. Tetapi saya tetap yakin datangnya memakai pakaian mataraman seperti ketoprak metaraman. Lapak kudanya masih ada di masjid, sini suka naik kuda. Pada waktu saya melihat warnanya wulet dendo tidak hitam, tidak putih, tidak merah saya masih ingat.
- KI AGENG BANGSRI (Syaikh Akhmad Yasin)
1. Lokasi
Legenda ini berkembang di wilayah Dukuh Banjarsari, Desa Wedelan, Kecamatan Bangsri. Penutur legenda ini Bapak Solikin, seorang Anggota TNI AD yang berkantor di Koramil Bangsi. Beliaunya sebagai juru kunci makam Ki Ageng Gede Bangsri. Cerita legenda ini berupa kompleks makam. Ada empat orang yang dimakamkan di kompleks makam ini, yaitu 1) Ki Ageng Gede Bangsi (Syaikh Akhmad Yasin), 2) Syaikh Buchari, 3) Syaikh Ahmad Jalalain, dan 4) Syaikh Abdullah. Syaikh Buchori dan Syaikh Jalalain adalah pengikut atau pendamping Syaikh Akhmad Yasin, sedangkan Syaikh Abdullah adalah pembantu ketiga syaikh tadi.
2. Cerita LegendaAwal mulanya rombongan pedagang yang dipimpin Syaikh Akhmad Yasin datang ke Jepara untuk berdagang. Rombongan ini terdiri atas Akhmad Yasin, Buchari, Ahmad Jalalain, dan Abdullah. Buchori dan Jalalain adalah pengikut atau pendamping Akhmad Yasin, sedangkan Abdullah adalah pembantu ketiga syaikh tadi. Mereka berasal dari negeri Persia. Di Jepara mereka berdagang keliling ke berbagai wilayah di Jepara sambil menyiarkan agama Islam. Karena mereka menyebarkan agama Islam, mereka sering dipanggil syaikh (syeh.)
Dalam perjalanan berdagangnya itu, mereka memperoleh cerita bila di sekitar Jepara juga ada seorang Sunan, yaitu Sunan Muria yang menyebarkan agama Islam. ”Sunan itu orangnya alim, ilmu agamanya tinggi, wawasannya luas”, kata masyarakat. Mendengar cerita itu, Syaikh Akhmad Yasin penasaran dan berminat untuk dapat bertemu dengan sunan tersebut. Mulai saat itu, Syaikh Akhmad Yasin berusaha mencari tahu tempat keberadaan sunan, penyebar agama Islam yang sering diceritakan masyarakat yang dia temui pada waktu menawarkan dagangannya.
Akhirnya, Syaikh Akhmad Yasin dapat memperoleh informasi tempat tinggal sunan, penyiar agama Islam yang telah tersohor di sekitar Jepara tersebut. Syaikh Akhmad Yasin sebagai ketua rombongan dagang itu berusaha keras untuk dapat bersilaturahmi kepada sunan, penyiar agama Islam itu. Pada suatu ketika, mereka dapat bertemu (sowan =Jawanya ) ke sunan, penyebar agama Islam itu.Pada waktu bertemu dengan sunan penyebar agama Islam itu, Syaikh Akhmad Yasin saling berdiskusi perihal agama Islam. Syaikh Akhmad Yasin memperoleh tambahan ilmu dan wawasan agama Islam dari sunan tersebut. Syaikh Akhmad Yasin merasa bangga dan masgul bertemu dengan orang yang selama ini dicarinya. Karena kemasgulannya itu akhirnya dia mendaftarkan diri sebagai murid (nyatrik) sunan tersebut. Dia menjadi murid kalong (murid yang tidak menetap di pondok, tetapi datang saat aktivitas mengaji).
Mulai saat itulah, Syaikh Akhmad Yasin bertambah kegiatannya, selain berdagang, menyiarkan agama Islam yang selama ini dilakukan, juga menjadi santri (murid) untuk belajar lagi ilmu agama. Syaikh Akhmad Yasin dikisahkan sebagai seorang murid yang rajin, jujur, berperilaku santun, dan pintar.Melihat perilaku dan kepintaran Syaikh Akmad Yasin, sunan menaruh simpati, sering diajak berdiskusi, dan sering diberi tugas dan diajak untuk berdakwah ke berbagai daerah. Karena seringnya bertemu, akhirnya Syaikh Akhmad Yasin menjadi murid yang dekat dengan sunan.
Karena kedekatannnya, Syaikh Akhmad Yasin cepat bertambah ilmu agamanya. Keluasan ilmu agamanya diakui Sunan Muria dan Syaik Akhmad Yasin semakin dipercaya oleh Sunan Muria untuk berdakwah, menyiarkan agama Islam di berbagai daerah. Akhirnya, Syaikh Akhmad Yasin banyak dikenal masyarakat. Berdagangnya menjadi lebih maju dan banyak pengikutnya.
Diceritakan karena melihat perkembangan keluasan wawasan agama dan ketulusan berdakwah, Sunan Muria tawaduk (segan) kepada Syaikh Akhmad Yasin. Pengikutnya, termasuk di antaranya yang berasal dari Candi yang telah lama ikut perjuangan Syaikh Akhmad Yasin.Selanjutnya, kisah meninggalnya Syaikh Akhmad Yasin tidak tergambar. Rombongan ini meninggal tidak diketahui keberadaan yang pasti. Akan tetapi, meninggalkan petilasan berupa makam yang juga tidak diketahui keberadaannya.
Masyarakat di sekitar makam itu penasaran dan bertanya tentang keberadaan makam yang ada di daerah itu. Karena itu, muncullah upaya pencarian jatidiri makam tersebut.
Proses pencarian makam Syekh Akhmad Yasin, awal mulanya Pak Haji Muhammad Arif salah satu warga masyarakat di sekitar makam itu menyepikan diri kehutan untuk mencari tahu keberadaan makam ini sebenarnya makam siapa? Untuk mengetahui jati dirinya ini, dicari peninggalannya. Akan tetapi, tidak ditemukan. Lalu ditemukan cerita di sekitar makam ini masyarakat dibuat penasaran dengan adanya kecelakaan yang sering terjadi di jalan itu, ada masyarakat yang menyimpulkan “apakah kuburan kecil itu minta dirawat/lelembut lain yang ingin dihormati di tempat ini? Akhirnya, dalam pencariannya itu, Pak Haji diweruhi seorang kyai tua yang meminta digendong. Pak Haji bertanya: ”Njenengan sinten mbah?” (Kamu siapa mbah). Orang tua itu berkata ”Aku Syeh Akhmad Yasin”. Mimpi Pak Haji itu selanjutnya diceritakan kepada Mbah Sohib.
Untuk memantapkan keberadaan makam Syaikh Akhmad Yasin, dimulai oleh Muhammad Arif berkelana dan bersilaturahmi (datang) ke berbagai pihak (sesepuh wini sepuh) mulai yang ada di Jateng, Jabar, hingga Jatim. Beliau bersilaturahmi ke berbagai ulama untuk bertukar pikiran mengenai makan Syaikh Akhmad Yasin (Ki Ageng Bangsri). Di Jawa Timur, Syaikh Akmad Jumadil Kubro memberikan wawasan kepada Muhammad Arif tentang makam Syaikh Akhmad Yasin. Syaikh Jumadil Kubro berkata: ”Yang kamu cari makam Ki Ageng Bangsri jauh apa tidak, coba kamu bertanya kepada orang tua Kawedanan (wilayah yang terdiri atas beberapa kecematan, di bawah wilayah Kabupaten) yang pertama di mana tempatnya. Setelah kamu menemukan, di sana kamu cari Desa Nganjung (tempat pembuat kenteng, cuek (tempat makan) dari tanah/perajin tanah). Di desa itu ada umbul (gerumbul) di kiri jalan. Di tempat itu ada makam kecil. Nah, itulah makam dari Ki Ageng Bangsri.”
Setelah itu, Muhammad Arif mencarinya. Baru pada tahun 1995 ditemukan makam kecil itu. Setelah ditemukan, kemudian dicari tahu keberadaan yang pasti makam itu hingga 2 tahun lamanya. Akhirnya, Muhammad Arif bertemu Mbah Sohib. Mbah Sohib mengatakan ”Kalian mondar-mandir ke sana ke mari bertahun-tahun sebenarnya mencari hal yang tidak jauh. Kalian cari saja Lereng Nganjur Banjarsari, Desa Wedelan. Di tempat itu sebenarnya yang kalian cari. Dengan petunjuk itu, akhirnya keberadaan makam Syaik Akhmad Yasin ditemukan.
Setelah ditemukan keberadaan makam Syaikh Ahmad Yasin oleh Muhammad Arif, muncul berbagai pengakuan. Ada yang mengatakan makam Ki Ageng Bangsri ada di Magelang, Secang, atau Wonosobo. Akhirnya, proses penelusuran keberadaan makan Syaikh Akhmad Yasin dilakukan lagi. Setelah proses penelusuran yang lama, akhirnya disimpulkan bahwa makam yang asli ada di Desa Bangsri. Mbah Sohib berkata ”Yang asli ya yang ada di Banjarsari, Wadelan, Bangsri”.
Mulai tahun 1997 di makam itu diadakan khol (berdoa bersama). Setelah itu, kegiatan khol itu dilestarikan oleh pengelola makam. Kegiatan khol itu, dari tahun ke tahun semakin banyak dihadiri banyak orang. Selain itu, dari hari ke hari semakin banyak peziarah yang datang, bahkan dari luar daerah misalnya, Jatim, Jabar, Pekalongan, Jogja. Dikisahkan, pada waktu kegiatan khol dan Umar Mutohar dari Semarang membawa 48 robongan (jamaah kubro), Ki Ageng Gede telihat berdiri di antara Umar Mutohar dan para penziarah.Ki Ageng Gede Bangsi, orangnya lemah lembut, ramah tamah, welas sesamanya sampai-sampai dalam legenda diceritakan mengorbankan anaknya kepada “ulo lempe” dalam legenda Suro Goto.
Seterusnya makam itu dibersihkan dan diziarahi, jalan di samping makam tidak lagi sering terjadi kecelakaan yang menelan korban. Melihat kondisi itu, keberadaan makan lalu diberi cungkup dan semakin bayak peziarah di daerah itu maka cungkup tambah besar dan diberi pondasi sampai bagus, sampai akhirnya setelah banyak jemaahnya ditata sampai kelihatan rapi dan tertata supaya lebih dikenal namanya. Saat ini, makam itu sudah terbangun dengan bangunan permanen. Nyi Ageng Gede mempunyai istri namanya Nyi Ratu Panjang Mas yang sekarang makamnya ada di Kalinyamat, mempunyai anak yang belum jelas siapa namanya dan bagaimana ceritanya. Dalam cerita legenda Suro Goto anaknya dimakan ulo lempe.
- SURONGGOTHO
1. Pendahuluan
Suronggoto merupakan legenda seorang dari masa kesenanan yang berkembang di sekitar Bangsi dan Mlonggo. Ia diceritakan sebagai orang yang memiliki kesaktian dan ambisinya untuk mempersunting wanita yang disukai berani mengorbankan apa saja. Ceritanya kemudian dihubungkan dengan pemberian nama desa tertentu dan dengan binatang yang dinamai Yuyu Gotho serta dikaitkan dengan ular lempe.
2. Bertemu Dewi Wiji
Cerita dari Kecamatan Bangsri pada jaman kasunanan, Surunggoto mau bertamu kepada Ki Ageng Bangsri. Ia berasal dari Pulau Mandalika. Namun, sesampai di sana ia tidak bertemu dengan Ki Ageng Bangsri tetapi bertemu anaknya. Saat melihat anak Ki Ageng Bangsri Ia tertarik padanya, tetapi ia ditolak karena Suronggoto masih adik bapaknya. Namun Dewi Wiji menolak dan lari minta tolong ke penjual bunga di Desa Kembang.
Penjual bunga ketahuan menyembunyikan Dewi wiji setelah Suronggoto tahu maka penjual bunga itu dibunuh. Dewi wiji minta tolong kepada pak Jenggot, tokoh tersebut dibunuh dan selanjutnya tempat tersebut disebut Desa Jenggotan.Kabar Dewi Wiji sampai ke Sunan Muria. Disana terdapat orang yang dikenal Cibolek dan Si bagus anak Ki Ageng Pandanaran.
Dewi Wiji menghadap ke sunan dan menyampaikan permasalahan bahwa dia dikejar-kejar pamannya. Ia kembali tetapi tidak berani menghadap Suronggoto dan ia kembali menghadap sunan Muria. Suronggoto bersumpah jika tidak bisa mengawini Dewi Wiji maka ia akan membumihanguskan Bangsri.
3. Menjadi Yuyu Gotho
Suronggoto melihat Ki Ageng Bangsri membawa pusaka, ia merasa kalah maka ia menceburkan diri ke laut. Ketika masuk ke laut Suronggoto menjadi yuyu yang dikenal Yuyu Gotho dan mengancam akan merusak Bangsri. Ia bersumpah kalau Dewi Wiji tidak dikorbankan maka rakyat akan dihancurkan. Ki Ageng Bangsri minta pertimbangan kepada Sunan Muria. Setelah itu Sunan Muria menyarankan putri Ki Ageng Bangsri dikorbankan. Selanjutnya anak perempuannya masuk ke laut. Setelah masuk ke laut ia menjadi ular lempe.
Sampai sekarang terdapat cerita rakyat jika ada orang digigit ular lempe obatnya yuyu gotho ditumbuk lembut dioleskan, sebaliknya jika digigit yuyu gotho maka obatnya darah ular lempe. Ular lempe dilaut ukurannya kecil di sekitar pulau Mandalika. Ular tersebut kecil sebesar kelingking bisa menggigit. Yuyu Gotho yang ada dilaut tetapi berbulu dan warnanya hitam da yuyu tersebut beracun. Yuyu ini beracun dan dijadikan bubuk kopi yang dapat digunakan untuk meracun orang. Racun yuyu ini sangat ganas. Jika bubuk kopi diletakkan dibawah gelas saja dapat meracuni air di dalam gelasnya. (Sukawi, desa Plajan Kec.Mlonggo)
- PANGERAN SENTONO (Danang Syarif)
1. Pendahuluan
Danag Syaraif adalah adalah anak kembar Sutawijaya dengan Ibu Mas Semangkin. Saudara kembarnya bernama Danang Sirokol. Ketika dewasa Danang Syarif dan Danang Sirokol memohon ijin kepada ibundanya untuk membuka lahan baru guna dijadikan tempat pemukiman. Setelah mendapat restu dari ibundanya maka Danang Syarif dan Danang Sirokol diiringi oleh para prajuritnya membuka lahan baru yang terletak kurang lebih duakilo meter disebelah timur lut desa Mayong. Tempat pemukiman baru ini dikenal dengan nama Desa Pringtulis dan Desa Papringan.
Setelah lahan baru sebagai tempat pemukiman tersebut selesai dibangun, Pangeran Sentono (Danang Syarif) beserta para para prajuritnya memutuskan untuk menetap dan tinggal di tempat ini hingga akhir hayatnya. Tempat pemukiman baru ini kemudian dikenal dengan nama Pringtulis. Jasad pangeran Sentono ( Danang Syarif) beserta para prajuritnya dimakamkan disuatu lokasi makam yang sama dan lokasinya terpisah dari pemakaman umum.
2. Keturunan Punggawa Kerajaan.
Dilihat dari bentuk penataan makam, maka pusara Pangeran Sentono (Danang Syarif) beserta prajuritnya dapat dipastikan sebagai pusara para keturunan terdekat dan punggawa kerajaan. Pada masa Pangeran Sentono (Danang Syarif) berada dan menetap di pemukiman baru, beliau telah mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diajarkan tersebut bukan hanya tentang budi pekerti dan tata cara hidup bermasyarakat secara rukun dan damai, tetapi juga ilmu pengetahuan tentang tata cara bercocok tanam yang baik serta ilmu kanuragan sebagai upaya menjaga dan memelihara serta mempertahankan keutuhan wilayah yang dihuni oleh masyarakat dari kemungkinan adanya gangguan dan bahaya yang dating dari luar.
Menurut keterangan, Pangeran Sentono atau pangeran Danang Syarif adalah putra R Sutowijoyo dengan gelar selir kanjeng Ibu Mas Semangkin, cucu pangeran Haryo Bagus Mukmin (Sunan Prawoto), putra buyut Sultan Trenggono, putra canggah Raden Patah dan putra wareng Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit). Di makam Sentono tersebut disamping makam pangeran Danang Syarif ada sekitar 80 makam yang konon sebaagai pengikut setianya, setiap saat makam tersebut juga dikunjungi oleh banyak orang untuk “ngalap berkah”. (K/SKT)
3. Satu Syura di Makam Mbah Muhammad Arif
Tanggal 1 syuro bertepatan dengan hari jum’at wage (hitungan aboge) belum lama ini di komplek makam wali Mbah Muhammad Arif Dukuh Sendangsari, Desa Banjaran, kecamatan Bangsri, Jepara ramai sekali. Berbagai kegiatan dilaksanakan dalam rangka khoul Mbah Muhammad Arif seorang wali yang telah berjasa dalam menyiarkan agama islam khususnya di Jepara utara tersebut. H Ghozi M Noor nadhir masjid mengemuakakan, kegiatan satu syura tersebut rutin dilaksanakan sejak ratusan tahun silam dalam rangka khoul Mbah Muhammad Arif, sejak sore hari masyarakar berdatangan untuk memanjatkan do’a melalui tahlil bersama dilingkungan makam dibelakang masjid tersebut. “ Sore hari tahlil ibu- ibu dan setelah maghrib gatian bapak-bapak. Muslimin- muslimat dari berbagai pemjuru desa termasuk para keturunannya ikut ambil bagian dalam kegiatan ini. +Suasana menjadi khidad. “papar haji Ghozi didampingi adiknya Abdillah Ubaid dan Abdun Nasir (ketiganya juga keturunan Mbah Muhammad Arif).
Abdillah Ubaid yang juga menjadi ketua panitia khoul menambahkan, berbagai kegiatan dlakuakan sejak sore hingga malam dan siang hari. Dipagi hari disamping rebana dan terbang jidur masih menggema juga dilaksanakan karnaval oleh anak- anak madrasah, sore hari kegiatan ditutup dengan thlil sekaligus pengejian umum yang dihadiri oleh muslimin- muslimat dari berbagai penjuru desa.
Abdun Nasir yang juga anggota TNI dari kodim 0719/ Jepara mengatakan, “kesuksesan khoul Mbah Muhammad Arif ini karena dukungan semua fihak”. Banyaknya pihak yang membantu baik barang maupun uang termasuk juga 11 ekor kambing untuk lauk pauknya, kami mengucapkan terimakasih atas bantuan tersebut,” paparnya.
Sementara itu baik H Ghozali maupun Abdillah Ubaid memaparkan, Mbah Muhammad arif konon dari negeri Yaman dan menjadipenghulu zaman belanda. Hidupnya berpindah- pindah akhirnya menetap di dukuh Sendangsari, Desa Banjaran, Bangsri tersebut. Beliau mendirikan masjid dan dalam kegiatan meyiarkan agama islam telah berhasil mencetak para santriyang kemudian menjadi tokoh- tokoh agama islam khususnya di Jepara ini. “ Banyak tokoh agama isla di Jepaa ini yang masih menjadi keturunannya, Sebut saja almarhum KH Faozan dan KH harun Mertuanya , almarhum KH Amin Sholeh, KH Ubaidillah Noor Bandungharjo juga masih keturunannya, papar H Ghozali M Noor, mbah Muhammad Arif mempunyai 9 putra yang kemudian menurunkan para tokoh agama islamdi negeri ini, tambahnya lagi.
Kitab Wasiat
Sementara itu Mbah Muhammad Arif meninggalkan karya tulis atau buku yang ditulisnya sendiri menggunakan tulisan arab dan jawa disela- sela kesibukanya menyiarkan agama islam. Buku ini disimpan oleh H Ghozali M Noor yang berisi wasiat dan tuntutan ajaran agama bersumber dari Alqur’an dan Al hadits untuk anaka cucunya. Buku atau orang menyebut kitab pusaka berukuran sekitar panjang 25 cm dan lebar 20 cm serta tebal 7 cm ini memang sudah dimakan usia. Isinya bermanfaat sekali, namun tidak sembarang orang bias membacanya.
Menurut H Ghozali M Noor buku tersebut dipelihara secara turun temurun dan kini disimpannya. Disayangkan ada beberapa halaman yang sobek orang lain. Namun orang tersebut hidupnya tidak tentram. Banyak orang ingin meminjamnya, tetapi tidak diperbolehkan, boleh membaca sepuas- puasnya asal ditempat dibawah pengawasan yang memelihara. “isinya sungguh menarik, berbagai ajaran termasuk ilmu tabib ada didalam buku ini,’” papar H Ghozali M Noor. Dikhawatirkan bila dipinjam orang lain lantas disalahgunakan yang kena dirinya sendiri, tambahnya.
2. Bertemu Dewi Wiji
Cerita dari Kecamatan Bangsri pada jaman kasunanan, Surunggoto mau bertamu kepada Ki Ageng Bangsri. Ia berasal dari Pulau Mandalika. Namun, sesampai di sana ia tidak bertemu dengan Ki Ageng Bangsri tetapi bertemu anaknya. Saat melihat anak Ki Ageng Bangsri Ia tertarik padanya, tetapi ia ditolak karena Suronggoto masih adik bapaknya. Namun Dewi Wiji menolak dan lari minta tolong ke penjual bunga di Desa Kembang.
Penjual bunga ketahuan menyembunyikan Dewi wiji setelah Suronggoto tahu maka penjual bunga itu dibunuh. Dewi wiji minta tolong kepada pak Jenggot, tokoh tersebut dibunuh dan selanjutnya tempat tersebut disebut Desa Jenggotan.Kabar Dewi Wiji sampai ke Sunan Muria. Disana terdapat orang yang dikenal Cibolek dan Si bagus anak Ki Ageng Pandanaran.
Dewi Wiji menghadap ke sunan dan menyampaikan permasalahan bahwa dia dikejar-kejar pamannya. Ia kembali tetapi tidak berani menghadap Suronggoto dan ia kembali menghadap sunan Muria. Suronggoto bersumpah jika tidak bisa mengawini Dewi Wiji maka ia akan membumihanguskan Bangsri.
3. Menjadi Yuyu Gotho
Suronggoto melihat Ki Ageng Bangsri membawa pusaka, ia merasa kalah maka ia menceburkan diri ke laut. Ketika masuk ke laut Suronggoto menjadi yuyu yang dikenal Yuyu Gotho dan mengancam akan merusak Bangsri. Ia bersumpah kalau Dewi Wiji tidak dikorbankan maka rakyat akan dihancurkan. Ki Ageng Bangsri minta pertimbangan kepada Sunan Muria. Setelah itu Sunan Muria menyarankan putri Ki Ageng Bangsri dikorbankan. Selanjutnya anak perempuannya masuk ke laut. Setelah masuk ke laut ia menjadi ular lempe.
Sampai sekarang terdapat cerita rakyat jika ada orang digigit ular lempe obatnya yuyu gotho ditumbuk lembut dioleskan, sebaliknya jika digigit yuyu gotho maka obatnya darah ular lempe. Ular lempe dilaut ukurannya kecil di sekitar pulau Mandalika. Ular tersebut kecil sebesar kelingking bisa menggigit. Yuyu Gotho yang ada dilaut tetapi berbulu dan warnanya hitam da yuyu tersebut beracun. Yuyu ini beracun dan dijadikan bubuk kopi yang dapat digunakan untuk meracun orang. Racun yuyu ini sangat ganas. Jika bubuk kopi diletakkan dibawah gelas saja dapat meracuni air di dalam gelasnya. (Sukawi, desa Plajan Kec.Mlonggo)
- PANGERAN SENTONO (Danang Syarif)
1. Pendahuluan
Danag Syaraif adalah adalah anak kembar Sutawijaya dengan Ibu Mas Semangkin. Saudara kembarnya bernama Danang Sirokol. Ketika dewasa Danang Syarif dan Danang Sirokol memohon ijin kepada ibundanya untuk membuka lahan baru guna dijadikan tempat pemukiman. Setelah mendapat restu dari ibundanya maka Danang Syarif dan Danang Sirokol diiringi oleh para prajuritnya membuka lahan baru yang terletak kurang lebih duakilo meter disebelah timur lut desa Mayong. Tempat pemukiman baru ini dikenal dengan nama Desa Pringtulis dan Desa Papringan.
Setelah lahan baru sebagai tempat pemukiman tersebut selesai dibangun, Pangeran Sentono (Danang Syarif) beserta para para prajuritnya memutuskan untuk menetap dan tinggal di tempat ini hingga akhir hayatnya. Tempat pemukiman baru ini kemudian dikenal dengan nama Pringtulis. Jasad pangeran Sentono ( Danang Syarif) beserta para prajuritnya dimakamkan disuatu lokasi makam yang sama dan lokasinya terpisah dari pemakaman umum.
2. Keturunan Punggawa Kerajaan.
Dilihat dari bentuk penataan makam, maka pusara Pangeran Sentono (Danang Syarif) beserta prajuritnya dapat dipastikan sebagai pusara para keturunan terdekat dan punggawa kerajaan. Pada masa Pangeran Sentono (Danang Syarif) berada dan menetap di pemukiman baru, beliau telah mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diajarkan tersebut bukan hanya tentang budi pekerti dan tata cara hidup bermasyarakat secara rukun dan damai, tetapi juga ilmu pengetahuan tentang tata cara bercocok tanam yang baik serta ilmu kanuragan sebagai upaya menjaga dan memelihara serta mempertahankan keutuhan wilayah yang dihuni oleh masyarakat dari kemungkinan adanya gangguan dan bahaya yang dating dari luar.
Menurut keterangan, Pangeran Sentono atau pangeran Danang Syarif adalah putra R Sutowijoyo dengan gelar selir kanjeng Ibu Mas Semangkin, cucu pangeran Haryo Bagus Mukmin (Sunan Prawoto), putra buyut Sultan Trenggono, putra canggah Raden Patah dan putra wareng Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit). Di makam Sentono tersebut disamping makam pangeran Danang Syarif ada sekitar 80 makam yang konon sebaagai pengikut setianya, setiap saat makam tersebut juga dikunjungi oleh banyak orang untuk “ngalap berkah”. (K/SKT)
3. Satu Syura di Makam Mbah Muhammad Arif
Tanggal 1 syuro bertepatan dengan hari jum’at wage (hitungan aboge) belum lama ini di komplek makam wali Mbah Muhammad Arif Dukuh Sendangsari, Desa Banjaran, kecamatan Bangsri, Jepara ramai sekali. Berbagai kegiatan dilaksanakan dalam rangka khoul Mbah Muhammad Arif seorang wali yang telah berjasa dalam menyiarkan agama islam khususnya di Jepara utara tersebut. H Ghozi M Noor nadhir masjid mengemuakakan, kegiatan satu syura tersebut rutin dilaksanakan sejak ratusan tahun silam dalam rangka khoul Mbah Muhammad Arif, sejak sore hari masyarakar berdatangan untuk memanjatkan do’a melalui tahlil bersama dilingkungan makam dibelakang masjid tersebut. “ Sore hari tahlil ibu- ibu dan setelah maghrib gatian bapak-bapak. Muslimin- muslimat dari berbagai pemjuru desa termasuk para keturunannya ikut ambil bagian dalam kegiatan ini. +Suasana menjadi khidad. “papar haji Ghozi didampingi adiknya Abdillah Ubaid dan Abdun Nasir (ketiganya juga keturunan Mbah Muhammad Arif).
Abdillah Ubaid yang juga menjadi ketua panitia khoul menambahkan, berbagai kegiatan dlakuakan sejak sore hingga malam dan siang hari. Dipagi hari disamping rebana dan terbang jidur masih menggema juga dilaksanakan karnaval oleh anak- anak madrasah, sore hari kegiatan ditutup dengan thlil sekaligus pengejian umum yang dihadiri oleh muslimin- muslimat dari berbagai penjuru desa.
Abdun Nasir yang juga anggota TNI dari kodim 0719/ Jepara mengatakan, “kesuksesan khoul Mbah Muhammad Arif ini karena dukungan semua fihak”. Banyaknya pihak yang membantu baik barang maupun uang termasuk juga 11 ekor kambing untuk lauk pauknya, kami mengucapkan terimakasih atas bantuan tersebut,” paparnya.
Sementara itu baik H Ghozali maupun Abdillah Ubaid memaparkan, Mbah Muhammad arif konon dari negeri Yaman dan menjadipenghulu zaman belanda. Hidupnya berpindah- pindah akhirnya menetap di dukuh Sendangsari, Desa Banjaran, Bangsri tersebut. Beliau mendirikan masjid dan dalam kegiatan meyiarkan agama islam telah berhasil mencetak para santriyang kemudian menjadi tokoh- tokoh agama islam khususnya di Jepara ini. “ Banyak tokoh agama isla di Jepaa ini yang masih menjadi keturunannya, Sebut saja almarhum KH Faozan dan KH harun Mertuanya , almarhum KH Amin Sholeh, KH Ubaidillah Noor Bandungharjo juga masih keturunannya, papar H Ghozali M Noor, mbah Muhammad Arif mempunyai 9 putra yang kemudian menurunkan para tokoh agama islamdi negeri ini, tambahnya lagi.
Kitab Wasiat
Sementara itu Mbah Muhammad Arif meninggalkan karya tulis atau buku yang ditulisnya sendiri menggunakan tulisan arab dan jawa disela- sela kesibukanya menyiarkan agama islam. Buku ini disimpan oleh H Ghozali M Noor yang berisi wasiat dan tuntutan ajaran agama bersumber dari Alqur’an dan Al hadits untuk anaka cucunya. Buku atau orang menyebut kitab pusaka berukuran sekitar panjang 25 cm dan lebar 20 cm serta tebal 7 cm ini memang sudah dimakan usia. Isinya bermanfaat sekali, namun tidak sembarang orang bias membacanya.
Menurut H Ghozali M Noor buku tersebut dipelihara secara turun temurun dan kini disimpannya. Disayangkan ada beberapa halaman yang sobek orang lain. Namun orang tersebut hidupnya tidak tentram. Banyak orang ingin meminjamnya, tetapi tidak diperbolehkan, boleh membaca sepuas- puasnya asal ditempat dibawah pengawasan yang memelihara. “isinya sungguh menarik, berbagai ajaran termasuk ilmu tabib ada didalam buku ini,’” papar H Ghozali M Noor. Dikhawatirkan bila dipinjam orang lain lantas disalahgunakan yang kena dirinya sendiri, tambahnya.
- RORO AYU MAS SEMANGKIN
1. Pendahuluan
Roro Ayu Mas Semangkin adalah puteri dari Sultan Prawoto yang ke-4. Sewaktu kecil di asuh oleh bibinya Ratu Kalinyamat. Setelah dewasa dijadikan sebagai “ garwo selir” dari “Panembahan Senopati”/ Sutowijoyo dari Kerajaan Mataram. Roro Ayu Mas Semangkin kembali ke Jepara untuk menumpas “pagebluk” yang disebabkan oleh kerusuhan dan banyaknya perampokan di wilayah desa Mayong. Beliau menjadi panglima perang mendampingi Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Atas keahlian dan ketangkasan dari Roro Ayu Mas Semangkin kerusuhan tersebut dapat dipadamkan. Setelah itu Roro Ayu Semangkin tidak mau kembali ke Mataram dan mendirikan pesanggrahan bersama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan dan Ki Datuk Singorojo.
Kanjeng Ibu Mas Semangkin adalah sosok seorang tokoh yang sangat berjasa, khusunya bagi warga masyarakat Desa Mayong Lor mengingat beliau adalah cikal bakal, dan pahlawan putri. Perilaku Ibu Mas Semangkin patut disuri tauladani bagi seluruh pemimpin pada seluruh lapisan yang ada diwilayah Kabupaten Jepara. Ketauladanan yang dapat dipetik adalah sifat kesederhanaan, kesehajaan, dan kedekatannya kepada kawula alit. Hal ini ditunjukknannya dalam kehidupan sehari-hari walaupun seorang isteri raja Mataram namun beliau rela mati untuk meninggalkan kemewahan duniawi menuju pengabdian kepada masyarakat kecil.
Dengan mengungkap dan menyajikan cerita dan atau sejarah singkat seorang tokoh teladan, kiranya akan dapat menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi pada diri warga masyarakat untuk dapat memahami dan menyadari arti suatu perjuangan hidup demi kemaslahatan orang banyak. Sehingga keberadaan tokoh ini akan tetap dikenang oleh masyarakat dan muncul sikap untuk turut serta hanguri-uri berbagai peninggalan dan makamnya sebagai salah satu bentuk perwujutan dalam upaya melestarikan adapt dan tradisi masyarakat melalui perlindungan, pemeliharaan dan restorasi termasuk didalamnya acara “buka luwur” yang diadakan disetiap tanggal 10 Muharram.
2. Kelahiran Roro Ayu Mas Semangkin
Roro Ayu Mas Semangkin, yang kemudian lebih dikenal Ibu Mas atau bergelar Ratu Mas Kagaluhan adalah puteri kedua dari Pangeran Haryo Bagus Mukmin (Sunan Prawoto) cucu dari Sunan Trenggono dan cicit dari Raden Patah. Sunan Prawoto adalah cucu dari Raden Patah putra dari Sultan Trenggono ( Raja ketiga dari Demak Bintoro) dengan Rr. Ayu pembayun putri Sunan Kalijaga yang dikaruniai sepuluh anak. Sedangkan Pangeran Haryo Bagus Mukmin memiliki keturunan tiga orang anak yakni P.Haryo Panggiri (Pangeran Madepandan) yang bergelar Sultan Ngawantipura, Rr. Ayu Mas Semangkin dan Rr. Ayu Mas Prihatin.
Pada saat kelahiran Rr. Ayu Mas Semangkin di Kerajaan Demak Bintoro sedang terjadi kemelut politik disebabkan wafatnya Sultan Trenggono (1546 M). Suksesi pergantian kepemimpinan pasca wafatnya Sultan Trenggono tidak dapat berjalan mulus dikarenakan terjadi konflik di Kerajaan Demak Bintoro., Faktor penyebab konflik dari intern (dalam kerajaan) dan factor ekstern (perbedaan pandangan dari para wali sembilan tentang calon pengganti Sultan Trenggono). Konflik intern Kerajaan Demak terjadi karena adanya rasa dendam berebut kekuasaan dari keturunan Pangeran Sedo Ing Lepen yang dibunuh oleh Sunan Prawoto (Putera Sulung Sultan Trenggono) ternyata meninggalkan duri dalam hati keturunan Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen, puteranya yang bernama Arya Penangsang merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan, sebab dia beranggapan bahwa yang menduduki kursi mahkota tersebut adalah ayahnya, bukan Sultan Trenggono karena Pangeran Sekar adalah kakak dari Sultan Trenggono dan adik dari Patih Unus atau Pangeran Sabrang Lor (Sultan Syah Alam Akbar II) yang memerintah tahun 1518 – 1521 M. Atas dasar inilah Arya Penangsang berusaha untuk merebut dan menduduki tahta kerajaan Demak. Sedangkan faktor ekstern yaitu munculnya aksi saling mendukung dari para wali yang memiliki calon-calon pengganti dari Sultan Trenggono turut mewarnai situasi politik di dalam kerajaan.
Dalam buku Babad Demak disebutkan bahwa Sunan Giri tetap mencalonkan Sunan Prawoto untuk menjadi Sultan Demak tetapi Sunan Prawoto sendri telah tercemar pribadinya karena tertuduh membunuh Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen. Sedangkan suara Sunan Kudus lain lagi, beliau mencalonkan Arya Penangsang (Adipati Jipang), karena Arya Penangsang adalah pewaris (keturunan) langsung Sultan Demak dari garis laki-laki yang tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani.
Sunan Kalijaga beliau mencalonkan Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau sering disebut juga dengan nama “ Joko Tingkir / Maskarebet”. Joko Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono. Sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap Pangeran Hadiwijaya disertai dengan alasan bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan Demak Bintoro akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama Islam kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat kesultanan itu berada di Pedalaman (di Pajang).
Sikap dan pendapat dari Sunan Kalijaga ini tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena apabila pusat kerajaan dipindahkan di pedalaman (Pajang) maka sangat dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia, terutama menyangkut bidang Tasawuf, besar kemungkinannya bercampur dengan ajaran “mistik” atau Klenik sedangkan Sunan Kudus sedang mengajarkan ajarannya “Wuluang Reh” / penyerahan. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Hadiwijaya sebagai pengganti dari Sultan Trenggono.
Situasi politik semakin meruncing dan tambah memanas, sehingga Arya Penangsang mengambil sikap, karena merasa dialah yang lebih berhak menduduki tahta kerajaan Demak Bintoro, maka dengan gerak cepat terlebih dahulu menyingkirkan Sunan Prawoto dengan pertimbangan, Sunan Prawoto lah yang membunuh ayahnya, kedua dialah yang menjadi saingan berat dalam perebutan kekuasaan itu, akhirnya Sunan Prawoto mati terbunuh beserta isterinya oleh budak suruhan Arya Penangsang / “Soreng Pati” yang bernama “Rungkut”, pada tahun 1546. Setelah Sunan Prawoto wafat target berikutnya Joko Tingkir menantu dari Sulltan Trenggono, karena dianggap berambisi untuk menduduki tahta dari Kerajaan Demak.
Situasi politikyang kian meruncing dan memanas menjadi suasana semakin tidak menentu. Prahara perang saudara ini disebabkan oleh api dendam Arya Penangsang yang berhasrat untuk membalas dendam atas kematian ayahandanya dan ambisi menduduki tahta kerajaan Demak Bintoro yang membuat keselamatan jiwa dari keturunan Sunan Prawoto termasuk jiwa Rr. Ayu Semangkin.
Pada waktu Rr. Ayu Semangkin dilahirkan kerajaan dalam suasana penuh ketegangan sehingga ia diberi gelar ‘Ratu Mas Kagaluhan”, yang artinya “galau / was-was. Sunan Prawoto beserta isterinya merasa “galau” / “cemas” karena jiwanya diancam oleh Arya Penangsang.
Sejak dilahirkan Rr. Ayu Semangkin telah menjadi anak yatim piatu sehingga hidupnya penuh penderitaan. Selain itu jiwa keluarganya terancam oleh para Surengpati / pembunuh bayaran dari Arya Penangsang (Aryo Jipang). Keadaan inilah yang menghantui ketentraman keluarga mendiang Sunan Prawoto.
3. Menjadi Putri Angkat Ratu Kalinyamat
Setelah Sunan Prawoto dan isterinya wafat dibunuh oleh budak suruhan Arya Penangsang yang bernama “Rungkut” kehidupan keluarganya tidak tentram karena selalu mendapatkan ancaman dan teror dari para pengikut Arya Penangsang sehingga akan mengganggu keselamatan jiwanya. Selain itu suasana politik yang memanas menyebabkan Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin berusaha untuk menyelamatkan keluarga Sunan Prawoto yang tidak lain kakak kandungnya. Maka Pangeran Haryo Panggiri, Ratu Prihatin dan Rr. Ayu mas Semangkin berusaha dilindungi dan diasuh agar jiwanya selamat. Sedangkan Rr. Ayu Mas Semangkin dijadikan sebagai anak angkat Ratu Kalinyamat dan dipindahkan dari Prawoto ke Jepara yaitu Keraton Kalinyamatan (lokasinya di sekitar kawasan pabrik padi Bonjot yang sekarang digunakan sebagai gudang penampungan pupuk pertanian. Letak lokasinya tersebut berjarak kurang lebih satu kilometer sebelah utara dari jalan pertigaan masjid Purwogondo yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Kalinyamatan).
Salah satu prajurit yang turut di gladi perang adalah putri angkatnya sendiri yaitu Rr. Ayu Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin. Rr. Ayu Semangkin selalu digladi oleh para tamtama kerajaan hingga memiliki oleh kanuragan cukup tinggi tanpa pilih tanding. Rr. Ayu Semangkin yang telah tumbuh menjadi seorang dewasa sangat giat berlatih dan tekun belajar dibawah bimbingan bibinya Ratu Kalinyamat. Selain belajar ilmu kanuragan dia juga mempelajari ilmu-ilmu agama Islam serta ilmu-ilmu batin untuk menempa dirinya. Ilmu kanuragan digunakan untuk melindungi diri dari musuh terutama dari para pengikut Arya Penangsang. Motivasi dan semangat yang mambara di hati Rr. Ayu Semangkin karena adanya bara api dendam kepada para pengikut Arya Penangsang yagn telah membunuh ayahnya. Ketekunan dan keprigelan Rr. Ayu Semangkin kemudian dijadikan Senopati Putri dari Kerajaan Jepara. Keadaan ini menyebabkan kerajaan Jepara memperoleh kebesaran dan mencapai puncak kejayaannya. Kebesaran kekuasaan Ratu Kalinyamat dapat diketahui dari sumber sejarah yang ditulis oleh De Coutu dalam bukunya “Da Asia” menyebutkan “Rainha de Jepara, senhora poderosa e rica” artinya raja Jepara seorang perempuan yang kaya dan mempunyai kekuasaan besar. Kekuasaan besar ditunjukkan pada 1550 dan 1574 membantu kerajaan Johor untuk mengadakan penyerangan terhadap kekuatan Portugis di Malaka. Pada tahun 1550 Ratu Kalinyamat mengirimkan 40 kapal perangnya dan 200 orang prajurit pilihan. Sedangkan pada tahun 1574 mengirimkan pasukan sebanyak 15.000 orang dengan 300 kapal perang dan 80 buah Jung besar, namun kedua kali penyerangan itu tidak berhasil dikarenakan strategi perang yang digunakan dapat dipatahkan. Untuk menyelesaikan masalah perang tersebut maka Ratu Kalinyamat bersedia berunding dengan Portugis yang hasilnya mengecewakan. Dalam perundingan tersebut Portugis menuntut untuk menyerahkan enam kapal perangnya dan seluruh amunisinya serta bahan makanan yang dibawanya.
Kekalahan pasukan Ratu Kalinyamat membawa kerugian yang sangat besar sehingga akan berdampak kemunduran bagi kerajaan Kalinyatamatan. Setelah berkuasa cukup lama Ratu Kalinyamat pulah Kerahmatullah, akan tetapi tidak diketahui tahun kapan beliau wafat dan peristiwa apa kemangkatan kanjeng ratu ini tidak diketahui secara pasti. Namun ada sumber yang mengatakan bahwa beliau wafat kira-kira pada tahun 1579 Masehi.
Setelah kemangkatan Ratu Kalinyamat maka kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada putra angkatnya yang bernama “Pangeran Jepara” yaitu putra Raja Hasanuddin dari Banten, tetapi banyak terjadi pemberontakan di Pajang. Pada tahun 1578 Kerajaan Pajang runtuh dan diikuti oleh kerajaan Jepara keruntuhan di tahun 1590 M.
4. Menjadi Istri Selir Sutowijoyo
Setelah Sutowijoyo berhasil mengalahkan Aryo Penangsang (Adipati Jipang) sesuai janjinya Ratu Kalinyamat menghadiahkan kedua putrid angkatnya Rr.Ayu Mas Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin diperistri oleh Raden Sutowijoyo dan selanjutnya diboyong dari Jepara ke Pajang. Waktu itu Sutowijoyo menjadi Senopati perang di Kerajaan Pajang. Pada saat inilah Rr. Ayu Semangkin dan Rr Ayu Prihatin mendalami olah kanuragan dan mulai tertarik untuk mulai berlatih perang bersama-sama prajurit Pajang Rr. Mas Semangkin sejaj di keratin Kalinyamat dulu juga sering berlatih olah kanuragan dan turut mendampigi Ratu Kalinyamat dalam melatih para prajuritnya. Kebiasaan itu juga dilakukannya saat mendampingi suaminya Sutowijoyo di arena latihan maupun di palagan / di tengah-tengah peperangan. Rr Ayu Semangkin dan Sutowijoyo dikenal sebagai senopati pilih tandingyang sangatditakuti oleh para musuh-musuhnya.
Setelah sekian lama mengabdi kepada Sultan Hadiwijaya (ayah angkatnya) bersama Rr. Ayu Semangkin di Pajang kemudian terbetik niat untuk menagih janji hadiah yang pernah dijanjikan oleh Sultan Hadiwijaya ketika sayembara barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang maka akan dihadiahi bumi Pati dan hutan Mentaok. Sultan Hadiwijaya baru menepati satu janjinya yakni memberikan hadiah bumi Pati yang kemudian diserahkan kepada Ki Penjawi sedangkan hutan Mentaok tak kunjung diberikan sehingga Ki Juru Mertani dan Sutowijoyo diam-diam meninggalkan istana Pajang untuk membabathutan Mentaok yang kelak menjadi kerajaan Mataram.
Setelah meninggalkan PajangKi Juru Mertani dan Sutowijoyo kemudian membabat hutan Mentaok dan mendirikan Pesanggraan di kota Gede dekat Yogyakarta. Sutowijoyo, Ki Ageng Pemanahan dan Rr. Ayu Semangkin dan Rr Ayu Prihatin beserta para pengikutnya turut mesanggrah di kota Gede tersebut. Selain itu senopati perang kerajaan Pajang ini juga ahli spiritual mengadakan interaksi dengan alam gaib penguasa laut selatan yang bernama “NyaiLoro Kidul”. Beliau bersemedi ditemani Ki Juru Mertani duduk disebuah batu hitam yang kini dikenal dengan nama batu gilang. Batu gilang tersebut sebagai tanda bukti bekas telapak kaki dan tempat duduk yang membekas hingga sekarang. Di atas batu gilang itulah senopati Sutowijoyo memperoleh pulung kerajaan seingga kelak menjadi raja di tanah jawa.
Pada saat inilah kelak menjadi embrio kesalahpahaman antara Pajang dan Mataram. Kesalahpaaman ini muncul ketika perilaku pembangkangan oleh Senopati Mataram (Raden Ngabehi Loring Pasar) putra dari Ki Ageng Pemanahan (Kyai Gede Mataram), Ia menjadi senopati Mataram menggantikan ayahnya atas perhatian raja Pajang dengan berbagai persyaratan, antara lain berkewajiban menghadap raja Pajang setiap tahun sebagai ukuran kesetiaannya. Namun apa yang terjadi, Senopati(Raden Ngabehi) pada tahun pertama diberi kelonggaran tidak diwajibkan menghadap ke Pajang. Tetapi kelonggaran itu justru disalahgunakan kesempatan. Ia menyuruh rakyat Mataram membuat batu bata guna mendirikan tembok benteng, dan pada tahun berikutnya ia pun tetap tidak menghadap ke Pajang.
Kyai Gede Mataram dalam waktu singkat dapat menjadikan daerahnya sangat maju. Beliau sendiri tidak mengecap hasil usahanya karena meninggal pada tahun 1575 tetapi puteranya yang bernama Sutowijoyo, melanjutkan usaha itu dengan giat. Sutowijoyo dikenal sebagai orang yang gagah berani. Mahir dalam perang dan karena itu nantinya lebih terkenal sebagai Senopati ing Alaga (Panglima perang). Sementara itu di Pajang terjadi perubahan yang sangat besar. Joko Tingkir meninggal pada tahun 1582. Anaknya pangeran Benowo disingkirkan oleh pangeran Pangiri (dari Demak) dan dijadikan Adipati di Jipang. Maka sebagai sultan Pajang kini bertahtalah Arya Pangiri yang melanjutkan daerah Demak.
Sultan baru ini dengan tindakan-tindakannya yang merugikan rakyat segera menimbulkan rasa tidak senang di mana-mana. Kenyataan ini merupakan kesempatan yang baik bagi Pangeran Benowo untuk merebut kembali kekuasaannya. Ia meminta bantuan kepada Senopati dari Mataram, yang juga menginginkan robohnya Kerajaan Pajang dan sudah terlebih dahulu mengambil langkah-langkah untuk melepaskan daerahnya dari Pajang itu. Pajang diserang dari dua jurusan, dan Arya Pangiri menyerah pada Senopati. Pangeran sendiri tidak sanggup kalau harus menghadapi saudara angkatnya itu, maka bersedia mengakui kekuasaan Senopati. Keraton Pajang dipindah ke Mataram, dan berdirilah kerajaan Mataram (1586).
Pengangkatan Senopati oleh dirinya sendiri menjadi raja Mataram dengan gelar “Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah”. Bila diartikan “Panembahan yaitu orang yang disembah / dijunjung tinggi (dihormati). “Senopati” artinya : panglima perang. “Ing Alaga” artinya : ditengah-tengah palagan / medan pertempuran, Sayidin Panatagama artinya “kepala agama”, “Kalifatullah” artinya “wakil dari Allah”.
Setelah pengangkatan dirinya menjadi raja Mataram mendapat banyak tantangan, lebih-lebih oleh karena segera menunjukkan politik ekspansinya. Bentrokan pertama terjadi dalam tahun 1586, yaitu dengan Surabaya. Dengan perantaraan Sunan Giri pertumpahan darah yang lebih hebat dapat dicegah. Surabaya tidak ditundukkan, tetapi bersedia mengakui kekuasaan Senopati. Dalam tahun itu juga Senopati menghadapi perlawanan kuat dari Madiun Ponorogo namun dapat segera dipatahkan. Pada tahun 1587 Senopati mampu menggempur Pasuruhan bersama Panarukkan dan pada tahun 1595 menaklukkan Cirebon dan Galuh. Pati dan Demak juga membrontak bahkan tentara mereka dapat mendekati ibukota Mataram. Tetapi pasukan Senopati yang dipimpin oleh Rr. Ayu Semangkin, Ki Tanujayan, Ki Brojo Penggingtaan dan keempat perwira yang dipimpin oleh Tumenggung Sukolilo yang bernama “Surokerto” dapat meredam pemberontakan.
Setelah perluasan ke Jawa Tengah bagian pesisir utara, Jawa Timur dan Jawa Barat (Cirebon dan Panarukkan) Senopati wafat tahun 1601 dan kemudian dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta bersanding dengan Rr. Ayu Prihatin Garwo Selir Sutowijoyo yang dipersembahkan oleh Ratu Kalinyamat ketika dapat mengalahkan Arya Penangsang. Sedangkan Rr. Ayu Semangkin mendirikan Padepokan di Mayong dan mendirikan rumahnya di Mayonglor hingga wafat.
5. Sebagai Senopati Perang
Pada awal masa pemerintahan Mataram, sisa-sisa prajurit Jipang yang masih setia kepada Arya Penangsang, senantiasa mencptakan berbagai bentuk kerusuhan seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, serta bentuk-bentuk tindak kejahatan lainnya. Hal ini mereka lakukan demi menciptakan ketidaktenteraman dan keresahan bagi masyarakat di Kasultanan Mataram. Daerah kekuasaan kerajaan Mataram yang seringkali terjadi huru hara yaitu di wilayah Pati, Jepara (lereng Muria), karena wilayahnya terlalu jauh dari pusat pemerintahan kerajaan Mataram.
Selain berbagai kerusuhan dan huru-hara juga terjadi di sekitar Mayong, Jepara. Pada permulaan abad 17, Pati Pesantenan yang dipimpin oleh Bupati Wasis Joyo Kusumo (Bupati Pragola Pati II) bermaksud membangkang mengadakan “kraman” dari kekuasaan Sultan di Mataram. Pembangkangan yang dilakukan oleh Bupati Pati terhadap Kasultanan Mataram ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak mau membayar upeti dan tidak mau tunduk kepada perintah Sultan Mataram. Sikap tersebut ditandai dengan berkali-kali tidak hadir pada saat pisowanan agung yang digelar oleh Sultan. Untuk mengetahui kebenaran itu maka dikirimlah telik sandi ke Pati, Jepara dan daerah-daerah lain yang dianggap rawan tersebut. Setelah telik sandi dikirim ke tempat kerusuhan tersebut kemudian melaporkan kebenaran informasi kepada Sultan Mataram. Atas kebenaran laporan tersebut Sultan Mataram kemudian memerintahkan para perwiranya untuk menumpas huru hara dan kraman di sekitar lerang pegunungan Muria.
Mendengar berita tentang keadaan yang sangat merisaukan dan membahayakan Kasultanan Mataram ini, maka Rr. Ayu Semangkin sebagai salah satu dari Senopati Putri pada waktu Ratu Kalinyamat terketuk dan terpanggil hatinya turut menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang menyangkut keamanan di wilayah lereng pegunungan Muria. Rr. Ayu Semangkin merasa berutang budi dengan masyarakat di wilayah Jepara karena bertahun-tahun beliau hidup dan dibesarkan di istana Kalinyamatan serta telah digembleng berbagai ilmu kanuragan, ilmu keprajuritan dan ilmu spriritual. Rr. Ayu Semangkin dengan keteguhan hatinya untuk turut serta menumpas huru-hara dan “kraman” yang dilakukan oleh Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo beserta para sorengpati-sorengpati pengikut Arya Penangsang. Darah keprajuritan dan keprawiraan yang mengalir dalam jiwanya hal ini menyebabkan beliau berkeinginan untuk turun di tengah-tengah palagan dan memimpin sendiri penumpasan tersebut. Keteguhan hatinya untuk menjadi senopati perang melawan Bupati Pati dan para sorang-sorengpati pengiku Aryo Penangsang ini disampaikannya sewaktu ada pisowanan agung / musyawarah agung yang membahas tentang permasalahan gangguan keamanan di lereng pegunungan Muria. Pada pertemuan ini Rr. Ayu Semangkin memohon ijin untuk menumpas kraman tersebut tetapi Sultan Mataram tidak memperkenankan turut dalam penumpasan tersebut karena mengkhawatirkan keselamatannya. Namun Rr. Ayu Semangkin mendesak dan meyakinkan kepada sultan hingga akhirnya merestui dan mengijinkan untuk turut menumpas huru hara dan kraman tersebut. Setelah mendapatkan ijin dan restu dari Sultan Mataram maka Rr. Ayu Mas Semangkin pergi ke tengah-tengah palagan dengan didampingi oleh dua orang tamtama perang yang sakti mandraguna yakni Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan.
Selain rombongan prajurit dari Rr. Ayu Semangkin, Panembahan Senopati juga mengirimkan empat perwira terbaiknya guna membantu Rr. Ayu Semangkin yang dikhususkan untuk menumpas kraman yang dilakukan oleh Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Bupati Pati dikenal sebagai salah satu seorang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi dan daya kesaktian yang menakjubkan serta memiliki pusaka “Kere Wojo” rampasan dari “Baron Sekeder” yang dapat menambah kesaktiannya dalam pepatah Jawa “Ora tedhas Tapak Palune Pandhe sisaning gurendo”. Keempat perwira masing-masing Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Amoh, Kanjeng Tumenggung Roro Meladi, orang menyebut Roro Molo, Kajeng Raden Tumenggung Candang Lawe orang menyebut Raden Slendar, Kanjeng Raden Tumenggung Samirono, orang menyebut Raden Sembrono. Keempat perwira beserta para prajurit dan pasukannya setelah mendapatkan tugas dan restu dari Kanjeng Sultan kemudian segera berangkat ke medan perang. Keempat perwira tersebut mendapatkan tugas masing-masing sesuai dengan strategi yang digunakan dalam berperang. Suro Kadam mendapat tugas sebagai penunjuk jalan dan sekaligus sebagai prajurit telik sandi. Sebagai prajurit Telik Sandi Suro Kadam bertugas untuk sebagai mata-mata. Agar berhasil dalam menjalankan tugas maka dia mengadakan penyamaran dan bergabung dengan masyarakat. Suro Kadam menjalankan tugasnya dengan penuh keberanian dan kehati-hatian. Suro Kadam dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Suro Kerto adik kandungnya sendiri. Atas keberanian dan kehati-hatian tersebut Suro Kadam dapat memberikan informasi yang tepat tentang keberadaan Bupati Wasis Joyo Kusumo beserta pasukannya.
Dengan informasi yang tepat inilah keempat perwira dari Kasultanan Mataram kemudian mengadakan koordinasi, bermusyawarah untuk mengatur strategi perangnya agar dapat mengalahkan pasukan Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Berkat kejituan strategi perang yang digunakan dan semangat dari para prajurit Mataram untuk memenangkan peperangan maka dalam waktu yang cukup singkat Bupati Wasis Joyo Kusumo dan pasukannya dapat ditakukkan.
Sepulang dari peperangan, para prajurit bersemayam / mesanggrah di Kademangan Sukolilo. Saat-saat itu bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Maulud. Para prajurit terbiasa memperingati di setiap tanggal 12 Maulud di Keraton Mataram diadakan upacara Sekaten untuk itu mereka mengadakan upacara Skatenan di Sukolilo, sebagaimana adat Kasultanan setiap tahunnya. Keempat perwira tersebut kemudian mohon ijin untuk tinggal di Sukolilo guna mengawasi para pengikut Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Panembahan Senopati mengijinkan membangun tenpat tinggal disana serta memberikan “palilah” (ijin), di Kademangan Sukolilo untuk melestarikan Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan yang mirip Skaten yang disebutnya Meron, yang dalam bahasa Jawa dimaksudkan ramene tiron-tiron.
Sedangkan tempat berkumpulnya para Tumenggung untuk bertirakat sekarang dikeramatkan dengan nama Talang Tumenggung, sedang daerah tempat mesanggrah, sekarang menjadi Dukuh Pesanggrahan. Diantara keempat Tumenggung tersebut ada yang meninggal di Kademangan Sukolilo, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among dan dimakamkan di makan Sentono Pesanggrahan (300 meter arah Timur Laut Talang Tumenggung)
Berkat kerjasama Pasukan Rr. Ayu Semangkin dan Tumenggung Sukolilo beserta para prajurit dan pengikut-pengikutnya maka Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo dapat ditumpas. Kemudian keempat perwira tersebut memutuskan untuk menetap dan membangun Desa Sukolilo dan sekitarnya. Sedangkan Rr. Ayu Semangkin melanjutkan perjuangan di Mayong untuk menumpas para perusuh dan pengikut setia Arya Penangsang yang senantiasa membuat huru hara dan kerusuhan seperti perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan sehingga membuat keresahan dan ketidaktentraman masyarakat di Mayong dan sekitarnya.
Berkat semangat dan kegigihan serta kemahiran dari para prajurit Mataram lebih-lebih Lurah Tamtono Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Maka pasukan Rr. Ayu Semangkin dalam waktu yang cukup singkat dapat menumpas para perusuh sehingga keadaan menjadi tenang dan pulih kembali seperti sedia kala. Namun Rr. Ayu Mas Semangkin masih khawatir terjadi kerusuhan lagi sehingga beliau beserta para pengikutnya untuk mendirikan pesanggrahan dan sekaligus membabat hutan di Mayong Lor sebagai tempat tinggalnya.
6. Mendirikan Padepokan di Wilayah Mayong
Berkat kegigihan, kedigjayaan, keperwiraan dan ketangkasan dalam olah kanuragan Rr. Ayu Mas Semangkin dalam memimpin pasukannya sehingga para perusuh perlawanan dalam waktu singkat dapat dipatahkan bahkan menyerah dan bertekuklutut dihadapan para prajurit mataram. Suasana masyarakat diwilayah lereng pegunungan Muria khususnya di daerah Mayong dan sekitarnya mulai kembali aman, dan tentram. Kehidupan masyarakat kembali seperti semula karena masyarakat telah dapat beraktifitas / bekerja dengan tentram. Tugas suci Rr. Ayu Mas Semangking beserta pasukannya telah dilaksanakan dengan cepat dan sukses, namun beliau dan pasukannya tidak segera pulang ke Mataram , mengingat serangan musuh mungkin bisa terulang lagi maka Kanjeng Ibu Mas Semangking mengerahkan kepada kedua tamtama dan para prajuritnya untuk sementara waktu menumpang di sebuah di padepokan yaitu di sebuah tempat yang dihuni oleh kakek tua. Penghuni padepokan ini adalah seorang pengembara dari pulau Dewata (Bali) dari Singaraja maka tempat tersebut sampai saat sekarang disebut desa Singorojo. Letak desa tersebut berjarak kurang lebih dua kilometer arah utara dari desa Pelemkerep Mayong.
Kakek tua penghuni padepokan tersebut bernama “Idha Gurnandhi” yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Ki Datuk Singorojo. Selama rombongan prajurit Mataram berada di tempat Ki Datuk Singorojo, perusuh-perusuh tidak dapat berani datang lagi. Kemudian Kanjeng Ibu Mas yang didampngi oleh kedua tamtama dan dikawal oleh beberapa prajurit Mataram memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram. Kanjeng Ibu Mas bersama kedua tamtama (Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujaya) yang dikawal oleh prajurit Mataram ingin menetap di daerah baru. Dari tempat Ki Datuk Singorojo, rombongan prajurit Mataram bersama Kanjeng Ibu Mas Semangkin dan kedua Lurah tamtomo menuju kearah selatan kurang lebih 2 kilometer dari Desa Singorojo dan sampailah rombongan tersebut di daerah yang agak landai dan masih ditumbuhi oleh pohon semak-semak belukar.
Kanjeng Ibu Mas Semangkin bersama rombongan memutuskan untuk membabat hutan tersebut dan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Rr. Ayu Semangkin dan Ki Brojo Penggingtaan membabat hutan diwilayah utara. Sedankan dibagian selatan dipimpin oleh Ki Tanujayan bersama sebagian prajuritnya.
Pohon-pohon mulai ditebang semak belukar dibakar dan puing-puing disingkirkan. Tanpa terasa pekerjaan tersebut telah memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Setelah semua itu dikerjakan maka kedua kelompok rombongan prajurit Mataram tersebut memutuskan untuk tetap tinggal di daerah baru tersebut. Daerah baru tersebut kemudian diberi nama desa ”Mayong”.
Daerah baru bagian utara Kanjeng Ibu Mas yang didampingi ki Brojo penggingtaan bersama prajurit Mataram mendirikan sebuah padepokan sebagai tempat tinggal sedangkan di daerah baru bagian selatan Ki Tanujayan bersama prajurit Mataram atas perintah Kanjeng Ibu Mas juga mendirikan padepokan sebagai tempat tinggal.
Di daerah baru tersebut kedua Lurah Tamtama mengajarkan ilmu-ilmunya baik ilmu kanuragan maupun ilmu kerohanian, budi luhur, kesucian batin terhadap sesama dan suka menolong, penyabar serta rendah hati dan masih banyak lagi mengenai hal-hal menuju kebaikan. Lambat laun berita tersebut tersiar sampai kedaerah-daerah lainnya. Akhirnya banyak orang yang berdatangan untuk meminta pertolongan atau datang untuk menimba ilmu serta banyak pula yang dating berguru bahkan adapula yang datang untuk menetap menjadi murid dan penghuni baru ditempat itu.
Oleh karena kearifan dan kebijaksanaan Kanjeng Mas juga Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanunjayan bersama prajurit-prajurit ditempat baru masing-masing, yang pada masa sebelumnya sering terjadi keganasan perampok maka sejak dihuninya daerah tersebut oleh penghuni baru kerusuhan-kerusuhan tidak terjadi lagi. Berkat kebesaran ketinggian budi serta kearifan Kanjeng Ibu Mas bersama kedua Tamtama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanunjayan maka mereka diangkat menjadi sesepuh dan cikal bakal dari masyarakat Mayonr Lor dan Mayong Kidul.
Setelah beberapa lama singgah di padepokan Datuk Singorojo, Roro Ayu Semangkin bersama dengan Ki Lurah Tamtama, Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram dan mendirikan Padepokan di Mayong Lor dan Mayong Kidul. Setelah padepokan berdiri banyak murid-murid yang datang dari wilayah Jepara, Kudus, Demak, dan Pati untuk berguru kanuragan dan ilmu-ilmu kejawen serta ilmu-ilmu agama kepada tokoh-tokoh tersebut.
Para murid padepokan dari Roro Ayu Semangkin, Ki Brojo Pengingtaan dan Ki Tanujayan selain berguru kepadanya juga banyak berguru di pdepokan Datuk Singorojo yang kebetulan ahli dalam pembuatan ukit-ukiran dan keramik. Keahlian Datuk Singorojoini kemudian ditularkan kepada murid-murid di padepokan tersebut. Dalam waktu singkat padepokan tersebut banyak kedatangan murid untuk berguru ilmu kanuragan, kejawen, keagamaan dan yang terpenting yaitu belajar untuk membuat gerabah. Sejalan dengan perjalanan waktu muncul perkampungan Undagen di desa Mayong Lor yang mengembangkan gerabah, genteng, keramik dan seni ukir. Dalam perkembanganyya maka pada tahun 1937 Belanda mendirikan pasar Mayong yang kini telah yerbakar untuk menampung berbagai macam barang-barang kerajinan gerabah yang digunakan untuk kepentingan rumah tangga dan berbagai macam mainan seperti manuk-manukan, gajah-gajahan, sapi-sapian, terbang-terbangan dan sebagainya. Keahlian masyarakat Mayong Lor dalam membuat gerabah dan teknik pembuatan keramik maka di Mayong Lor didirikan pabrik keramik. Selain itu Mayong Lor juga dijadikan pusat kawedanan, kecamatan dan di Kecamatan Mayong inipun telah lahir seorang pahlawanan wanita yang bernama “ RA. Kartini” yang kini tempat ari-arinya telah dibangun di dekat pendopo kecamatan Mayong.
Berdasarkan riwayat tentang Kanjeng Ibu Mas yang dikisahkan oleh para pinisepuh bahwa sejak kecil Rr. Ayu Mas Semangkin telah terbiasa dengan pola hidup yang bersahaja dan bahkan cenderung dengan tata kehidupan rakyat kecil serta kehidupan yang dilandaskan atas ketentuan kepercayaan yang beliau anut. Bentuk kepasrahan diri kepada Tuhan YME secara tulus menjadi suatu nafas kehidupan yang senantiasa beliau pelihara hingga akhit hayatnya. Dengan ketulusan, kejujuran dan kesucian batin yang senantiasa beliau pelihara dalam kehidupannya telah menempa dan membentuk jiwa beliau yang benar-benar rendah hati jujur berjiea tulus penyabar dan pengayom bagi masyarakat khususnya masyarakat bawah.
Rasa rendah hati ini dibuktikan dengan kerel;aan beliau yang jasadnya hanya dikebumikan disuatu makam di desa kecil desa Mayong Lor yang letaknya sangat jauh dari kemegahan dari makam kerbat keratin. Dengan demikian bukanlah suatu hal yang mustahil apabila beliau termasuk salah satu hamba yang dekat dan dikasihi Allah Yang Maha Kuasa.
7. Putera Kembar Roro Ayu Semangkin Dengan Sutowijoyo
Setelah hutan yang cukup luas tersebut dibuka dan layak untuk dijadikan sebagai tempat pemukiman, Kanjeng Ibu Mas Semaqngkin kemudian kembali ke Mataram yang tujuan utamanya adalah untuk memohon palilah kepada Sultan Mataram agar beliau diperkenankan untuk tinggal dan menetap didaerah yang baru dibuka tersebut. Restupun diberikan oleh Sultan Mataram dan Kanjeng Mas Ibu Senangkin kembali ke tempat pemukiman yang baru selesai beliau bangun. Tempat pemukiman ini kemudian diberi nama Mayong. Setelah beberapa tahun menetap di Mayong dan tentunya juga sering sowan ke Mataram, akhirnya Kanjeng Mas Ibu Semangkin dikaruniai putera kembar yang diberi nama Danang Syarif dan Danang Sirokol. Nama Danang diambil dari nama depan ayahanda kedua putera tersebut ketika sebelum menjadi Sultan Mataram yaitu Danang Sutowijoyo.
Danang Syarif dan Danang Sirokol dibesarkan dan diasuh oleh ibundanya sendiri(Kanjeng Ibu Mas Semangkin) di Mayong. Setelah tumbuh remaja, kedua putera kembar tersebut menuntut berbagai ilmu kanuragan kepada Ki Datuk Singorojo. Danang Syarif dan Danang Sirokol merupakan siswa kinasih Ki Datuk Singorojo karena bagaimanapun juga kedua putera kembar tersebut adalah seorang Sultan dan Raja.
8. Roro Ayu Semangkin Wafat
Setelah mendirikan Padepokan Agung di Mayong bersama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Rr. Ayu Semangkin kemudian memutuskan untuk menetap di desa Mayonglor dan mendirikan pesanggrahan serta rumah persinggahan di Mayonglor yang kini bekasnya masih ada tetapi hanya tinggal puing-puingnya. Beliau mengabdikan dirinya untuk bersama-sama masyarakat membangun desa Mayong Lor maupun Mayong Kidul. Selain beliau bertempat tinggal di Mayong Lor sesekali juga sowan di Kasultanan Mataram. Dan setelah beliau mengenalkan putranya bernama Danang Syarif dan Danang Sirokol kepada ayahhandanya Panembahan Senopati dan akhirnya kedua putranya ini diangkat menjadi senopati perang. Tak lama kemudian beliau wafat dan dimakamkan di Desa Mayong Lor.
Masyarakat Mayong berkeyakinan bahwa kesucian batin dan kedekatan Kanjeng Ibu Mas dengan sang pencipta, maka banyak warga masyarakat yang memohon kepada Allah SWT dengan berwasilah kepada Kanjeng Ibu Mas. Permohonan umat manusia kepada Tuhannya dengan cara berwasilah kepada leluhur yang dianggap suci dan dekat kepada Allah tidak dilarang menurut agama Islam. Permohonan ini terjadi karena merasa diri mereka tidak sebersih dan sesuci para leluhur yang diwasilahilah ini diharapkan agar hajat mereka kehendaki dapat terkabul.
Berdasarkan anggapan masyarakat tentang diri Rr. Ayu Mas Semangkin sebagai seorang hamba dan kekasih Allah yang dipilih karena sepanjang hidupnya mengabdikan dirinya demi keamanan, ketentraman masyarakat di wilayah Mayong serta turut membangun kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan. Untuk menghormati jasanya ini maka beliau dijadikan sebagai cikal bakal dan dimakamkan di Dukuh Gleget Desa Mayonglor yang kini setiap hari dan hari-hari tertentu makamnya dijadikan sebagai tempat para peziarah, dari berbagai golongan masyarakat. Dan setiap tahunnya tepat pada tanggal 10 Suro / Muharram diadakan upacara bukak luwur.
9. Kegiatan Dimakam Kanjeng Ibu Mas Semangkin
Berbagai kegiatan rutin di makam Kanjeng Ibu Mas Semangkin dapat dijumpai dan dilihat yang dilakukan oleh warga masyarakat dari berbagai lapisan, diantaranya yang menonjol adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan pada hari Kamis sore
Banyak para peziarah yang datang dari berbagai lapisan masyarakat dan dari penjuru desa dan kota, pada umumnya para peziarah tersebut mengadakan selamatan di makam dan berdoa menurut cara dan keyakinan masing-masing yang dipandu oleh Juru Kunci Makam. Dari hari ke hari jumlah para peziarah semakin bertambah. Tidak kurang dari 50 orang yang khusus berziarah ke Makam Kanjeng Ibu Mas Semangkin pada setiap Kamis sore.
2. Kegiatan pada hari Kamis Malam (Malam Jum’at)
Mulai pukul 22.00 WIB, banyak warga masyarakat (khususnya laki-laki) yang datang dari berbagai penjuru desa dan kota untuk melakukan tirakatan dan bersemadi di dalam makam Kanjeng Ibu Mas Semangkin. Dari pengamatan yang dilakukan, tidak kurang dari 10 (sepuluh) orang yang datang untuk melakukan tirakatan dan bersemadi pada setiap Malam Jum’at.
3. Kegiatan pada setiap Malam Jum’at kliwon dan Jum’at Wade
Pada hari-hari tersebut diatas, dimulai sekitar pukul 20.30 WIB diadakan pengajian dan tahlil bersama-sama yang dilanjutkn dengan membaca Sholawat Nariyah. Anggota Sholawat Nariyah tercatat sebanyak tidak kurang dari 65 orang, tetapi yang hadir pada hari-hari tersebut tercatat berkisar antara 45 sampai dengan 50 orang.
4. Kegiatan pada Setiap Tanggal 10 sampai dengan 11 Muharram
Sebagai penghormatan warga desa kepada almarhumah Kanjeng Ibu Mas Semangkin, maka pada setiap tanggal tersebut diatas diadakan peringatan hari wafatnya Kanjeng Ibu Mas Semangkin (Haul). Dari catatan Pengurus menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengunjung pada setiap diadakannya haul.
Haul yang diselenggarakan secara terbuka untuk umum ini baru dirintis sejak tahun 1999 M. Meskipun peringatan-peringatan hari wafatnya Kanjeng Ibu Mas Semangkin ini belum lama dipublikasikan, tetapi catatan pengurus makam menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengunjung yang sangat mengejutkan, karena pada haul Kanjeng Ibu Mas Semangkin tahun 2001 tidak kurang dari 4.000 pengunjung yang hadir. Pada haul tahun-tahun sebelumnya hanya tercatat tidak lebih dari 1.500 pengunjung. Kenyataan ini menunjukkan betapa semakin sadarnya warga masyarakat dalam menghargai dan
menghormati para leluhurnya.
10. Kepercayaan Rakyat:
Terkait dengan cerita Ibu Mas Semangkin terdapat perilaku dan kepercayaan yang hidup di kalangan masyarakat Mayong Lor. Kepercayaan yang terkait dengan Ibu Sumangkin antara lain Di atas makam Ibu Mas Semangkin sering terlihat fenomena gaib. Jika terlihat bola api menunjukkan ada musibah. Bola api merah berjalan di atas rumah makam Fenomena tersebut sesekali terlihat di atas rumah makam Ibu Semangkin. Fenomena tersebut pernah terlihat ketika terjadi perkelahian antar desa yang melibatkan Desa Mayong Lor.
Masyarakat Mayong Lor sebagian juga percaya orang-orang perempuan tidak boleh memasuki komplek makam dengan memakai baju warna hijau pupus daun. Warna tersebut adalah kesukaan Ibu Mas Semangkin ketika masih hidup. Pantangan memakai baju warna pupus bagi perempuan diperhatikan oleh sebagian masyarakat Mayong Lor sampai sekarang
Patahnya cabang pohon besar ( bergat ) dilingkungan makam Ibu Mas Semangkin, setiap ada calon pemimpin desa (petinggi) memberikan isyarat tokoh yang akan terpilih. Kearah calon yang mana cabang pohon itu patah maka calon tersebut yang akanterpilih. Masyarakat setempat percaya bahwa peristiwa itudapat dilihat beberapa kali pada saat pemilihan kepala desa (petinggi).
Ketoprak atau seni pertunjukan dilarang memainkan peran tokoh ibu Mas Sumangkin. Jika hal itu dilanggar maka besaar kemungkinan penyelenggara dan pemainnya akan mendapat mushibah. Oleh karena itu penduduk sampai sekarang tidak bernai memainkan peran Ibu Mas Semangkin pada pertunjukan seni Ketoprak. Pada saat ini tokoh pemerintahan bupati, camat, petinggi dan kiay/ ulama.menghadiri acara buka luwur dan khaul Ibu Mas Semangkin. Acara khaul juga dihadiri keturunan Sunan Kalijaga di Jepara dan sekitarnya.
By athieftemplate
on 23.33. Filed under
emprak
,
jepara
,
pendidikan
,
ratu kalinyamatan
,
tokoh sejarah
.
Follow any responses to the RSS 2.0. Leave a response
Related Posts : emprak,
jepara,
pendidikan,
ratu kalinyamatan,
tokoh sejarah
terima kasih atas penuturan legenda dan sejarahnya namun ijinkn saya hanya mengurutkan alur ceritanya....matur nuwun
BalasHapus